Pengawasan Dan Supervisi Pendidikan, Berubah Atau Bermasalah?

Pengawasan Dan Supervisi Pendidikan, Berubah Atau Bermasalah?

- in Headline, OPINI
0

Oleh: Ulmadevi

Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Bukittinggi

Kualitas pendidikan menentukan kualitas suatu bangsa, karena bangsa yang mengutamakan pendidikan tentu akan lebih maju dari bangsa lainnya.

Sebagaimana sejarah menjelaskan kebangkitan Jepang setelah kejatuhan bom atom, salah satunya karena kontribusi pendidikan terhadap negara mereka yang dilaksanakan oleh mereka masih bertahan pada masa itu.

Di Indonesia sendiri, pendidikan diartikan sebagai usaha secara sadar dalam mewujudkan suasana dan proses belajar yang dapat mengembangkan potensi yang terdapat dalam diri siswa seperti potensi spiritual keagamaan, kepribadian, pengendalian diri, kecerdasan, keterampilan, serta akhlak mulia.

Upaya untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya pengawasan dan supervisi sebagai unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam manajemen sebuah pendidikan.

Dalam teori yang dikemukakan oleh Aisyah dan Jamaludin, mengenai pengawasan dan supervisi, menyatakan bahwa fokus utamanya adalah memeriksa, menilai, merevisi, memperbaiki, dan mengembangkan kualitas proses pengajaran yang dilakukan oleh para guru (perorangan atau kelompok) melalui pendekatan dialog, bimbingan, nasihat, dan konseling dalam nuansa kemitraan profesional.

Kemudian, Faisal juga menjelaskan bahwa tujuan supervisi adalah membantu guru dalam mengembangkan dan mengubah dirinya atas kemauannya sendiri, menjadi guru yang lebih baik dan lebih kompeten dalam melaksanakan tugasnya.

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai supervisor, seorang pengawas pendidikan dituntut memiliki kompetensi-kompetensi dan kemampuan seperti: kepribadian, manajerial, akademik, evaluasi pendidikan, penelitian dan pengembangan, serta sosial sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007.

Di samping itu, supervisor juga mesti didukung dengan keterampilan-keterampilan lain dalam melaksanakan tugasnya berupa keterampilan teknis, administratif, interpersonal, serta keterampilan membuat keputusan. Kompetensi dan keterampilan tersebut adalah hal mendasar yang menentukan keberhasilan sebuah pengawasan dan supervisi. Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa jabatan pengawas/ supervisor bukanlah jabatan asal-asalan.

Akan tetapi, pada kenyataannya, kompetensi dan keterampilan tersebut belum sepenuhnya dimiliki oleh supervisor-supervisor pendidikan yang ada saat ini.

Pendekatan dialog, bimbingan, dan nasihat masih terasa asing bagi guru karena kondisi di lapangan.

Saat supervisor datang ke sekolah, itu berarti sebuah persidangan (paradigma lama). Salah satu faktor penyebabnya adalah usia supervisor yang rata-rata sudah mendekati masa pensiun.

Sementara, pengangkatan supervisor yang berusia lebih muda masih tergolong sedikit.

Hal ini berpengaruh besar terhadap motivasi belajar supervisor itu sendiri. Umumnya mereka dengan usia mendekati pensiun, berpikir untuk apa repot-repot meningkatkan kualitas karena tidak lama lagi akan pensiun.

Atau, posisi mereka sudah aman karena sudah PNS sehingga tidak berubah pun tidak mengapa.

Hal yang terakhir yang paling umum yakni, mereka sudah telanjur mewarisi metode supervisi konvensional di mana supervisor/ pengawas bertugas mencari-cari kesalahan orang yang disupervisi, sehingga mereka bisa menjatuhkan hukuman. Dengan kata lain, kehidupan orang yang disupervisi ada di tangan mereka.

Hal yang paling menyedihkan adalah supervisor yang sekadar memenuhi formalitas kerja. Datang ke sebuah instansi sekadar mengisi absensi untuk memenuhi ketentuan pencairan tunjangan profesi.

Miris sekali, bukan?
Belum lagi keterampilan-keterampilan lainnya yang kurang dikuasai dengan baik.

Ini jelas mengganggu pelaksanaan dan tujuan pengawasan dan supervisi yang telah dijelaskan sebelumnya.

Supervisor yang ada saat ini boleh dibilang masih banyak yang gaptek. Pengawasan dan supervisi yang masih bersifat manual, jelas-jelas butuh lebih banyak waktu, serta lebih rumit dibandingkan jika memanfaatkan kemajuan teknologi.

Pengawas yang memiliki pemahaman IT yang baik justru akan terlihat lebih berwawasan dan luwes di hadapan guru.

Dengan demikian, peluang suksesnya supervisi pendidikan menjadi lebih besar, meski kita tidak bisa melupakan kompetensi dan keterampilan lainnya.

Ditambah lagi dengan tuntutan pendidikan saat ini untuk mampu berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif yang tidak hanya ditujukan kepada siswa, tetapi juga seluruh penanggung jawab kependidikan.

Maka, paradigma lama tentang kepengawasan yang seperti ini tentu tidak lagi selaras dengan perkembangan dunia pendidikan. Lantas, dengan kondisi yang seperti ini, bolehkah kita berharap kualitas pendidikan Indonesia akan berubah?

Harapan dan cita-cita itu tidak akan pernah terwujud karena kita masih bekerja dengan metode yang sama dengan sebelumnya.

Albert Einstein pernah berkata, jangan pernah mengharapkan hasil yang berbeda jika masih melakukan cara yang sama. Ini sekaligus menjawab banyak hal yang menjadi tanda tanya bagi kita selama ini.

Tentunya tulisan ini tidak hanya ditujukan kepada pengawas, tetapi juga kepada seluruh pemangku kebijakan.

Jika kita masih menggunakan pemahaman yang sama, maka hasilnya akan tetap sama. Jika kita masih menggunakan cara yang sama, maka hasilnya tetap sama.

Berubah adalah salah satu hal yang paling mungkin. Umur boleh tua, namun semangat belajar harus selalu muda.

Jika satu juta PNS di luar sana adalah “pemalas”, maka kita satu-satunya yang kompeten. Saya setuju sekali dengan perkataan Aa Gym, perubahan yang dimaksudkan tersebut tentunya bukanlah perubahan yang besar. Namun, cukup dimulai dari diri sendiri, dari hal-hal yang kecil, dan dimulai saat ini. (***)

Leave a Reply