Candu pernah memicu konflik besar di Minangkabau

Candu pernah memicu konflik besar di Minangkabau

- in Feature, Headline
0

bakaba.net, Tanah Datar – Hari ini saya menyusuri Jorong Guguak Nagari Pariangan Kecamatan Pariangan Tanah Datar, sapa ramah petani menemani perjalan saya kali ini.

Sejuknya udara pegunungan membelai lembut wajah saya yang memberikan sensasi ketenangan.

Saya melayangkan pandangan pada hamparan persawahan yang terbentang luas di pinggang gunung Merapi.

Nagari terindah dengan penduduknya yang begitu ramah menyapa ini pernah menjadi objek penelitian saya tahun 2002 lalu, selanjutnya tahun 2006 sampai tahun 2009 lalu, nagari ini juga merupakan daerah dampingan saya dalam program partisipatory budget and expenditure tracking dengan pendanaan dari bank dunia.

Kali ini saya kembali mengunjungi daerah ini tetapi untu menulis tentang perang candu di Minangkabau.

Perang candu yang paling fenomenal pernah terjadi di Minangkabau, apakah perang itu merupakan siasat penjajah yang hilang cara menghadapi masyarakat Minang yang terkenal cerdik dalam berbuat dan bertindak?

Kita dapat melihat bukti-bukti candu pernah diperjualbelikan secara bebas di ranah Minang. Bila anda sempat berkunjung ke museum terbuka istana Pagaruyung, maka anda akan menemukan salah satu koleksi alat pengisap candu.

Alat pengisap candu berbahan kuningan dan kayu itu merupakan artefak museum Istana Basa Pagaruyung dengan nomor urut 098/BCB-B/A/12/VII/2008 berwarna coklat

Alat yang berfungsi untuk merokok atau mengisap candu ini mempunyai tinggi 65 CM, alat pengisap ini pada lobang tembakau mempunyai diameter 6,5 cm sementara pada ujung alat hisap diameternya hanya 2,5 CM.

Alat pengisap candu pada periode kolonial itu milik Datuak Gadang yang bertempat tinggal di Guguak Pariangan salah satu jorong yang terdapat di pinggang Gunung Marapi.

Ukuran halus berbentuk geometris memenuhi bagian kepala alat madat yang berbentuk terompet itu. Ukiran yang sama juga terdapat pada bagian tubuh alat hisap yang terbuat dari kuningan.

Alat Madat yang berbentuk memanjang yang dihubungkan dengan rantai penghubung sepanjang 15,5 CM, ukuran motif geografis dan pola lingkar yang mengelilingi alat itu.

Lalu siapakah yang memperkenalkan pengunaan candu di Minangkabau?

Dari berbagai literasi yang saya baca (saya wartawan yang sangat beruntung pernah dididik keras Tatang Istiawan, Libang Kompas saat itu yang mengharuskan membaca minimal dua buku perhari), diketahui yang memperkenalkan secara luas pengunaan candu di Minangkabau yaitu VOC.

VOC merupakan persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia.

Melalui penjualan candu pada masyarakat Minangkabau kala itu VOC meraup keuntungan yang sangat besar sehingga Belanda mempertahankan monopoli atas penjualannya.

Belanda sendiri mempelajari politik mempergunakan candu sebagai pemasukan dari Inggris.

Sebenarnya di Minangkabau pernah terjadi perang besar untuk memerangi peredaran candu yang lebih dikenal dengan perang padri.

Pertempuran ini terjadi di Minangkabau yang terbagi dalam dua periode yang terpisah, yaitu pada tahun 1821-1825 dan 1830-1837.

Kaum padri yang terdiri dari berbagai ulama menolak keras adat-istiadat yang banyak dipraktikkan oleh penduduk asli di sekitar kerajaan Pagaruyung.

Adat-istiadat tersebut antara lain perjudian, sabung ayam, konsumsi madat, alkohol, tembakau selain sirih, aspek hukum adat matriarkat dalam pewarisan, dan penegakan santai kewajiban ritual formal agama Islam.

Seharusnya setelah perang Padri itu, candu bukan menjadi persoalan lagi di ranah Minang, tetapi karena keuntungan besar yang diraih Belanda dari penjualan madat, maka mereka melegalkannya.

Pada tahun 1862, Gubernur Sumatera Barat Van den Bosch menekanan penghapusan penjualan candu setelah melihat daya rusak candu yang begitu luar biasa.

Van den Bosch menyadari candu sebagai sumber segala kejahatan yang terjadi, untuk menekan pengunaan candu, dirinya melarang penjualan candu diseluruh Padangsche bovenlanden.

Penjualan candu secara bebas pada tahun 1864, (Lembaran negara no. 112 tahun 1864), hanya pemerintah yang boleh menjualnya.

Meski telah ada adanya pelarangan penjualan candu, tetapi Belanda saat itu tidaklah sepenuhnya menerapkannya, hal itu dapat dibuktikan dengan rendahnya hukuman bagi para penyelundupan candu hanys denda 25 gulden.

Hal itu dilakukan karena menurun dratis pemasukan setelah pelarangan penjualan candu secara bebas, bila sebelumnya keuntungan bersih dari penjualan candu mencapai 240 ribu gulden pertahun, tiba-tiba merosot menjadi 85 ribu gulden.

Pelarangan penjualan secara bebas candu itu sebenarnya ditentang keras oleh Departemen Keuangan yang ingin adanya cara-cara terbaik dan paling cocok serta sederhana bagi pemasukan keuangan negara.

Departemen Keuangan Negara berharap keputusan no 112 tahun 1864 kembali ditarik sehingga candu dapat kembali diperjual belikan dengan bebas.

Ada yang menarik disini, meski Departemen Keuangan berharap keputusan nomor 112 tahun 1864 ditarik kembali, tetapi ternyata hal itu tidak disetujui oleh rekannya dari departemen yang sama.

Menurut Jaksa Agung ketika itu, ia mengumpamakan di Eropa, impor diam-diam dan mengisap candu secara sembunyi-sembunyi, apakah pemerintah cukup aktif bertindak?, andai pemerintah dapat mengontrol, penjualan, penyelundupan, tentu pemerintah pemerintah mendapat keuntungan besar dengan harga jual lebih rendah, (surat Jaksa Agung Coster, no. 1503/373, 19 September 1870).

Tetapi Direktur Kehakiman justru mendukung Direktur Keuangan, dengan mengeluarkan keputusan bulan November tahun 1870 nomor 4 bahwa candu kembali boleh diperjual belikan, (Lembaran Negara no. 170, 171 tahun 1870.

Dalam keputusan itu mengatur bahwa pemerintah secara resmi memegang kendali penjualannya, Belanda memberikan hak menjual eceran candu pada orang-orang Cina yang mempunyai uang setelah menyetorkan sejumlah uang pada pemerintah.

Sejak itu candu kembali boleh diperjual belikan secara bebas di ranah Minang. (***)

Leave a Reply