Anda perlu tahu, ini cerita perbudakan di Minangkabau

Anda perlu tahu, ini cerita perbudakan di Minangkabau

- in Headline, Sejarah
0

fhoto: orang rantai di tambang batubara

bakaba.net, Tanah Datar -Saya sudah lama ingin menulis tentang perbudakan di Minangkabau, karena itu sangat menarik untuk ditulis, setidaknya sejak tahun 2004 lalu, sudah lama sekaali ya?

kata Perbudakan, membuat sebagian dari kita yang hidup pada masa sekarang tertegun dan mulai bertanya-tanya, apakah perbudakan itu nyata? Mengapa bisa terjadi?

Pertanyaan-pertanyaan itu terbilang lumrah, mengingat dalam catatan sejarah perbudakan khususnya di Minangkabau, praktek ini memang tidak banyak disinggung.

Dulu saya tidak pernah mempercayai ada perbudakan di ranah Minang, dengan alammnya yang subur tentu dapat mendatangkan kemakmuran bagi masyarakatnya.

Tetapi pendapat itu segera terpatahkan setelah saya membaca beberapa buku langka, yang saya dapat dari berburu buku-buku di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Saya selalu menyempatkam mampir ke toko buku yang berada di TIM itu, untuk mencari buku-buku yang sudah tidak diterbitkan lagi.

Selain itu, koleksi buku-buku saya juga terkadang diberikan secara cuma-cuma, termasuk beberapa buku dalam bentuk softcopy menjadi referensi bagi saya untuk menulis.

Dalam buku perempuan perselimut kabut, saya pernah membaca kalimat “Ganja kayu dan ganja batu”, yang menceritakan tentang pemberontakan di Batusangkar.

Saat pemberontakan terjadi, umumnya laki-laki dari Batusangkar mengungsi ke pedalaman Minangkabau tanpa membawa istri-istri mereka.

Di Pedalaman Minangkabau itu, para lelaki selanjutnya menikah lagi dengan warga setempat, dari sini lalu muncul istilah ganja batu dan ganja kayu.

Kembali ke perbudakan yang pernah ada di Minangkabau, berdasarkan beberapa sumber ternyata bukanlah Belanda yang memperkenalkannya.

Perbudakan itu sendiri sudah ada di Minangkabau, jauh sebelum kedatangan Belanda ke daerah beradat itu.

Munculnya perbudakan di Minangkabau setelah berakhirnya perang Padri di Minangkabau, mungkin pemimpin perang Padri ketika itu melihat di Arab, perbudakan itu dibolehkan.

Seorang (maaf) budak di Minangkabau, tidaklah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat, atau menderita karena pekerjaan fisik tetapi hanya pandangan masyarakat rendah terhadap mereka.

Mereka hanya membantu pekerjan-pekerjaan-pekerjaan domestik serta membantu berdagang.

Tetapi ada pembatasan yang tidak boleh dilanggar seperti tidak diizinkan membuat rumah bagonjong atau lebar rumah ditupang dari tiga tonggak, termasuk pelarangan mengunakan beberapa deta, kain berbahan sutra dan emas, termasuk berjalan beriringan dengan orang merdeka.

Berdasarkan catatan Kolonel Verslag tahun 1876 dalam lampiran O, dan tahun 1877 lampiran , mengambarkan tentang keadaan di Sumatera Barat atau di Padangsche bovenlanden atau Dataran Tinggi Padang yang merupakan salah satu residen di provinsi Pantai Barat Sumatra pada masa Hindia Belanda, yang mencakup wilayah Dataran Tinggi Minangkabau yaitu:

  1. Pada Kecamatan (onderrafdeeling) Batusangkar , tidak ada budak, yang ada hanya kemenakan, saat pembebasan kemenakan digelar pesta besar setelah mengisi adat atau pesta, jumlah yang dibebaskan sebanyak 5.258 orang.
  2. Lintau Buo, 3.648 kemenakan, para penghulu adat meminta dua setenggah gulden untuk masing-masing orang tapi tidak perlu pesta.
  3. Kecamatan VII Koto terdapat 782 kemenakan dan tiga budak wanita. Untuk membebaskan satu orang budak wanita diminta 172,80 gulden, lalu isi adat dengan total 512 gulden.
  4. Kecamatan XX Koto terdapat seorang budak dan 1.179 kemenakan dan untuk pembebasan tidak diminta bayaran hanya pesta bersama.
  5. Kecamatan Supayang dan Sirukam terdapat tiga budak dan 18 kemenakan, tidak disebutkan nilai tebusan dan isi adat tetapi harus ada pesta bersama.
  6. Kecamatan Maninjau dan Matua tidak terdapat lagi budak maupun kemenakan karena sudah dibebaskan secara sukarela.
  7. Kecamatan Out Agam lebih kurang membebaskn 500 orang tanpa uang tebusan, tetapi diminta agar uang disumbangkan pada nagari, dan mengelar pesta besar-besaran di Bukittinggi.
  8. Batipuh, X Koto memiliki 374 budak dan 102 kemenakan, tetapi semua menolak menerima uang tebusan, tetapi pesta dibiayai pemerintah.
  9. XI Koto hanya dua orang budak dan menerima uang tebusan sebesar 174 gulden.

Jumlah Kemenakan dibawah lutuik di Minangkabau ditaksir sekitar 11.500 sementara budak sekitar 400 orang. (***)

Leave a Reply