Hujan Dan Celoteh Sepanjang Jalan Batusangkar – Bukittinggi Menjelang Baso

Hujan Dan Celoteh Sepanjang Jalan Batusangkar – Bukittinggi Menjelang Baso

- in Feature, Headline
0

Oleh Silfia Hanani

Semenjak beberapa bulan belakangan ini kita menghadapi cuaca yang agak ekstrim, hujan berkepanjangan menderu dan mendampingi kita, kadang-kadang tidak ada mendung tiba-tiba hujan datang dengan begitu lebatnya, makanya pepatah mengatakan sediakan payung sebelum hujan, sekali panas mendera.

Itu artinya, kita harus bersiap-siap dengan segala kemungkinan yang terjadi, harus mengantisipasi dari segala hal tidak diinginkan, sehingga kita tidak menggerutu dan pesimis saja ditengah-tengah kejadian yang tidak diinginkan.

Tapi sayang kita orang yang selalu menggerutu ditengah disegala ketidaknyamanan itu, sehingga hujan tidak kita hayati sebagai sebuah rahmat Tuhan yang maha menyuburkan, maha menyejukan dan seterusnya, ketika hujan datang kita selalu menjadi pesimis karena kita kurang bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi ketika hujan itu datang, sehingga akhirnya apa yang dikatakan pepatah hilang satahun paneh karano sahari hujan memang benar adanya.

Misalnya, jalan raya kita menjadi becek dan berlubang yang tidak karuan-karuan, seperti tak bertuan terbiarkan diguras oleh hilangnya kepedulian masyarakat disekitarnya. Kepedulian kita sudah menipis dan semangat gotong royong kita sudah tidak menjadi bahagian seperti dicontohkan nenek moyang bangsa kita dulunya.

Gotong royong membersihkan jalan, disekitar kita sudah hilang dan pudar kita biarkan itu sebagai bahagian dari pekerjaan pemerintah saja, kurang dan tidak tertarik untuk memelihara yang ada dihadapan kita, air tergenang di jalan kita biarkan dengan begitu saja, tali bandar yang melancarkan air mengalir kita biarkan tersumbat akhirnya melimpah dan meluap ke bahu dan badan jalan.
Akhirnya kerusakan itu semakin cepat terjadi.

Kepedulian kita memang sudah jauh tercerabut, pada hal kita sudah balik bernagari dengan tujuan kita bisa membudayakan sikap kolektif, sikap kerjasama, maju bersama sebagaimana nilai-nilai itu diajarkan dalam budaya kita.

Disitulah kalahnya kita sekarang, cara pikir kita telah berubah drastis, kita kurang mau lagi mengulurkan sedikit tenaga untuk pemeliharaan lingkungan kita, semangat kolektif tidak semakin Nampak dibangun dalam bernagari, sehingga kita terbiasa membiarkan lingkungan, jalan dihadapan rumah kita semak dan dikenangi air. Inilah sebenarnya membuat cepatnya fasilitas-fasilitas bersama kita seperti jalan raya yang melintasi depan rumah kita rusak dan tidak nyaman dilalui oleh orang, apakah kita nyaman saja dengan kondisi yang demikian?

Sepanjang jalan Batusangkar-Bukittinggi menjelang Baso, kita berceloteh tentang itu mengingat jalan yang mulai di baguskan itu babak belur dan belubang digenangi air dengan waktu yang lama sehingga rusaknya semakin cepat dan ketidaknyaman semakin kita rasakan, banyak titik yang mesti diperlukan turun tangan masyarakat sekitar menjelang jalan itu dapat anggaran untuk diperbaki, ditengah hujan mengguyur ini pula lobang-lobang yang digali dengan dalih perbaikan sudah semakin menganga pula, bahkan ada yang dalam tak nampak akibat genangan air itu. Lacahnya minta ampun, sulit memilih arah mana yang akan digilas.

Mungkin, sudah saatnya kembali kita hidupkan tradisi gotong royong itu untuk pemepiharaan fasilitas umum ini, karena kita tidak kekuragan fasilitas itu tapi kita kurang kepedulian untuk menjaganya, seperti jalan yang melintasi di depan rumah dan di nagari kita, kita sudah mengalihkan pikiran kita semua bahwa itu semuanya tugas dan tanggungjawab pemerintah.

Tapi kini kembalilah sedikit saja ke nilai luhur yang diajarkan nenek moyang kita, gotong royong atau setidaknya ringan tangan mengalir air yang tergenang dijalan itu keluar dari badan jalan. Untuk apa rumah kita bagus, tapi depan rumah kita jalannya buruk dan belobang, makanya sedikit ulurkan tangan kita untuk mengatasi supaya jalan itu tidak rusak.

Andaikan saya Bupati saya akan panggil wali nagari-wali nagari untuk kembali membangun semangat kebersamaan dalam memerhatikan linkingan, saya akan perintahkan wali nagari untuk bertanggungjawab memilihara jalan-jalan umum sepanjang nagari dikuasainya untuk dipelihanya, saya akan tegur wali nagari-wali nagari yang membiarkan jalan yang melintasi daerahnya di genangi air, kalua tidak untuk apa kita kembali ke nigari kalua tidak mampu pula mengembalikan semangat luhur yang kita miliki, bukankah tujuan kita kembali ke nigari tempo lalu untuk mengembalikan kelihuran tersebut?

Andaikan saya sebagai tokoh agama, saya akan lakukan dakwah, khutbah saya untuk pemeliharaan lingkungan ini, termasuk memilihara fasilitas umum seperti jalan raya itu, saya akan sampaikan ajaran Rasulullah memelihara jalan raya itu sebuah keharusan seperti ditegaskan Rasul bahwa membuang duri saja di jalan raya sudah sangat besar pahalanya, apalagi menjaga dan memeliharanya tentu amat besar pahalanya mengalir, mungkin pahala itu mengalir sebanyak orang melaluinya. Bukankah ini, menjadi satu jalan pula bagi kita untuk menuju pintu syurga.

Sebagai seorang guru, saya sudah sampaikan ke pada murid saya kita bekerja sama membangun negeri ini, melalui perhatikan lingkungan kita secara bersama. Inilah yang disebut dengan pendidikan ekologi, pendidikan lingkungan. Dalam hujan lebat saya melintasi jalan Batusankar-Bukitinggi Menjelang Baso itu, sampah sudah pula kembali ditebari ditepi jalan, sudah lama tidak terlihat eee..kini juga sudah teronggok-onggok menggunung.

Selamat melintasi jalan Batusangkar-Bukittingg menjelang Baso! Semoga ketidaknayaman kita segera diatasi (***).

Leave a Reply