The Songket Of Minangkabau Raising Hidden Threads Maha Karya Atitje Dari Buih-Buih Kemiskinan

The Songket Of Minangkabau Raising Hidden Threads Maha Karya Atitje Dari Buih-Buih Kemiskinan

- in BUDAYA, Headline, NASIONAL
0

Jakarta, bakaba – Buku the songket of Minangkabau raising hidden threads merupakan hasil penelitian Puan Puti Reno Sativa Sutan Aswar atau biasa disapa Atitje yang berbuih kemiskinan. Bagaimana tidak sang mastreo songket dan kain tradisional Indonesia ini selama melakukan penelitian menyaksikan sendiri kehidupan para penenun yang umumnya hidup miskin, sementara karyanya yang harganya sampai belasan juta hanya dinikmati para pedagang. Ini hal yang sangat miris.

Sebagai seorang peneliti Atitje memang harus hidup membaur dengan masyarakat setempat untuk lebih dekat objek yang menjadi fokus penelitiannya. Begitu juga saat seorang Atitje yang merupakan salah seorang mastreo songket harus hidup ditengah-tengah pengrajin yang umumnya hidup pas-pasan. Mereka terpaksa harus melakoni hidup yang sebenarnya bukan pilihan karena tuntutan hidup.

Dan lebih miris baginya ketika melihat pedagang yang membeli songket tetapi menawar dengan harga yang sangat murah, tanpa sadar terkadang air matanya jatuh menganak sungai ketika melihat fakta-fakta tersebut, tapi dirinya tidak bisa berbuat lebih selain melakukan pembinaan terhadap para perajin yang sudah di anggap seperti saudara sendiri.

Para perajin songket yang umumnya menerima “Upahan” dari pemilik barang terkadang tidak mampu membeli kain yang dia tenun dengan tetes keringat dan bergelut kemiskinan. Bagaimana dia bisa memiliki kain adat yang begitu kemilau itu, ketika di lempar ke pasar harganya sudah mencapai belasan juta. Mereka tidak punya pilihan dan terpaksa melakoni hidup yang dipilihkan buat mereka.

Dari melihat realita di lapangan tersebut seorang Atitje lalu berpikir keras agar kain adat itu tidak mempunyai jarak dengan masyarakatnya sehingga bisa digunakan seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang strata sosial.

Berhari-hari dia tidak tidur, karena merasa sangat terbebani dengan apa yang dia lihat dan rasa, setiap hari dia berpikir tiada henti meski sebenarnya hal itu bukanlah tugasnya sebagai seorang peneliti.

“Kain adat yang memiliki makna simbolis dibalik motif Minangkabau harus tetap dilestarikan, digunakan semua lapisan masyarakat, karena simbol-simbol yang digunakan sebagai motif merupakan tuntunan hidup masyarakat yang harus dipegang teguh”, ujar Atitje.

Saya ingin mendekatkan jarak antara kain adat itu dengan masyarakatnya secara luas, sehingga kain adat itu tidak berjarak dan dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan tidak hanya digunakan pada prosesi-prosesi adat saja tambah Ajitje.

Melalui koleksi songket-songket lama yang mulai dikumpulkan Atitje menjadi inspirasi baginya untuk melestarikan melalui pengembangan produk.

“Saya mengumpulkan songket-songket lama, bahkan yang robek dan koyak tetap saya beli, karena setiap motif pada songket tidaklah sama”, ujar keturunan rajo Pagaruyung ini.

Berbekal pengetahuan yang diperoleh dari peguruan tinggi, Atitje melakukan serangkaian penelitian dan percobaan yang memakan waktu yang relatif panjang. Tetapi lelahnya terobati dengan keberhasilan menghadirkan songket motif lama dengan bahan yang lebih baru dan segar.

Inovasi Atitje melalui substitusi bahan baru dari benang makao, benang sutra, benang katun dan benang sintetis akhirnya berhasil melahirkan tenun songket yang lebih lentur dan lemes. Perubahan bahan baku tentu perawatan tenun relatif lebih mudah dan tentunya akan mendorong perluasan pemanfaatan songket tidak lagi perlengkapan ritual adat. (TIA)

Leave a Reply