Musibah Itu Bernama Bantuan

Musibah Itu Bernama Bantuan

- in Headline, OPINI
0

Oleh: Dedi Erianto

Apakah kita ingat masa-masa indah dahulu ketika “Gotong Royong” adalah kekuatan masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan uang. Membersihkan jalan umum, masjid, surau dan berbagai fasilitas umum lainnya diselesaikan secara bersama-sama. Ada yang datang menyumbangkan bahan, ada yang memberikan uang dan ada yang menyumbangkan tenaga. Tidak ketinggalan ibu-ibu menyediakan minuman bahkan makanan berat sebagai pengobat lelah dan penghibur jiwa. Makan bersama dan tertawa bersama.

Mungkin cerita ini bagi anak-anak sekarang yang lahir di atas tahun 90-an adalah cerita dinegri dongeng, karena mereka tidak lagi menemukan hal-hal yang berkesan itu dalam kesehariannya. Mereka sudah hidup dengan fasilitas serba ada dan serba mudah. Tidak ada mengeluarkan batu di sungai, mengambil bambu ke hutan. Semua sibuk dengan kecanggihan teknologi. Anak-anak kita hari ini adalah anak-anak yang kaya fasilitas namun miskin pengalaman hidup.

Namun keyakinan yang mendalam di dalam hati, bahwa kebersamaan itulah yang akan menjadi kunci kemajuan masyarakat dimasa yang akan datang, bukan sifat individualis alias sendiri-sendiri. Ada rasa malu ketika tidak turut berpartisipasi, dan ada penghormatan yang sesuai untuk mereka yang layak untuk dihormati.

Sampailah datang zamannya dimana bantuan-bantuan digulirkan oleh berbagai pihak. Dengan tujuan mendorong kemajuan yang ada dimasyarakat agar kehidupan menjadi lebih baik. Tidak terhitung bantuan yang sudah diturunkan ke tengah masyarakat, namun satu fakta yang harus kita terima adalah tidak ada satupun yang bisa ditunjuk sebagai sebuah keberhasilan orang-orang yang diberi bantuan.

Orang dibantu, artinya orang yang punya tangan dibawah. Untuk tahap ini, secara mental kita sudah jauh dibawah standar kesadaran orang yang berakal dan merdeka. Bersyukur bantuan itu sebagai faktor tambahan, karena sudah ada modal dasar yang dimiliki oleh masyarakat. Namun bila bantuan adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu dan utama maka kekecewaan bila tidak di dapatkan.

Kepercayaan antara sesama masyarakat, akan dirusak oleh bantuan. Terkadang bantuan tidak sampai seperti apa yang di dengar, biasanya jumlah lebih sedikit dan kualitasnya tidak sesuai. Tapi yang namanya bantuan, sudah dibantu saja syukur, dari pada tidak dapat dibantu sama sekali. Maka dimasyarakat tidak ada lagi semangat untuk menjaga dan memelihara persatuan yang selama ini dibanggakan. Semua berebut untuk kemanfaatan masing-masing.

Abai kulitas dan gila popularitas, akan menjadi target yang dicari-cari. Apa yang dibangun akan cepat rusak dan hancur, walaupun sudah diresmikan secara wah dan besar-besaran. Masyarakat yang sadar hanya bisa menonton acara-acara resmi dan mengikuti dengan terpaksa agenda-agenda yang dibuat.

Ditambah lagi, disampaing syarat-syarat dan ketentuan untuk mendapatkan bantuan, para pemberi bantuan tidak lupa menyelipkan pesan. Pesan itu adalah persyaratan terakhir apabila ingin mendapatkan bantuan, yaitu “Sabar”. Tanpa sabar maka jangan berharap pada bantuan, ujung-ujungnya bosan dan ujung-ujungnya kecewa.

Pada prinsipnya bantuan mempunyai semangat yang bagus, apabila disertai dengan kejujuran para pengelola bantuan dan pendampingan terhadap bantuan yang diberikan. Tapi kenapa setiap program yang diberikan tidak menemukan keberhasilannya? Banyak faktor, namun salah satu penyebab utamanya adalah bantuan diberikan kepada yang tidak bisa mengelola, dan atau diarahkan oleh orang yang tidak bisa mengarahkan.

Forum Peduli Sosial Masyarakat (Selanjutnya disingkat FPSM) menyikapi kondisi-kondisi tersebut dengan mecoba agenda-agenda kecil. Dimulai dari kajian terhadap kebutuhan yang paling mendasar pada masyarakat, sehingga program yang akan digulirkan adalah sesuatu yang betul-betul dibutuhkan. Belajar dari pengalaman terkadang bantuan yang datang tidak sesuai dengan kebutuhan di masyarakat, ataupun kalah sesuai kebutuhan, bantuan itu tidak dikelola oleh orang yang tepat.

Kemudian barulah dipetakan potensi yang ada disekitar masyarakat tadi agar bisa keinginan ini bisa terwujud. Dari beberapa pengalaman yang dijalani oleh FPSM membuktikan bahwa kekuatan yang ada di masyarakat jauh lebih kuat dari potensi bantuan yang datang. Bahkan persoalan bisa terselesaikan sebelum bantuan yang baru direncakan itu terealisasi. Tentu yang namanya bantuan harus menempuh proses, jalur dan cara-cara tertentu, sampai terkadang “gata kini garuiknyo bisuak”. Tapi bila dibandingkan dengan potensi yang ada dimasyarakat, hari ini ada yang tergugah, detik itu juga bisa dicairkan.

Kemudian FPSM mendorong masyarakat untuk merawat kebersamaan, yang sudah dibangun sejak perencanaan, sampai mewujudkan, hinga akhirnya memelihara. Bila semangat itu bisa terjaga dengan baik, maka masyarakta kita akan kembali dengan bangga mengatakan, terima kasih atas bantuannya, dan bila kami tak dibantupun kami tidak akan pernah kecewa. Karena Allah telah menitipkan nilai iman dan amal sholeh serta cinta dan persaudaraan di dalam hati orang-orang yang menggantungkan harapan kepada yang Maha Memenuhi Segala Permintaan

Dengan kebersamaan sampah saja bisa menjadi berkah, dengan perpecahan dan sikap yang ingin menang sendiri, berkah bisa menjadi sampah. Bahkan sampai-sampai menjadi musibah. Bila bantuan yang sangat diingin-inginkan itu akan membawa musibah, maka selamat tinggal bantuan, karena musibah itu bernama bantuan. (***)

Leave a Reply