Jenjang Museum Istano Basa Pagaruyung Miliki Filosofi “Bajanjang Naiak Batanggo Turun”

Jenjang Museum Istano Basa Pagaruyung Miliki Filosofi “Bajanjang Naiak Batanggo Turun”

- in BUDAYA, Headline, OPINI
0

Oleh Destia Sastra

Museum Istano Basa Pagaruyung merupakan bangunan berbentuk panggung yang ditunjang oleh 72 tiang.  Ada sebelas anak tangga yang terdapat dibagian depan museum.

Masyarakat Minangkabau biaya menyebut tangga dengan jenjang dan ada sebelas anak jenjang untuk sampai ke atas museum istana Basa Pagaruyung.

Jenjang bagi masyarakat Minangkabau bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik keatas rumah adat yang biasa disebut rumah gadang tetapi sebenarnya mempunyai filosofi dalam masyarakat adat itu.

Kembali ke jenjang dengan sebelas anaknya ternyata mencerminkan rukun islam dan rukun iman dan merupakan implementasi dari falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Disamping itu jenjang dimuseum Istano Basa Pagaruyung itu mengandung makna sistem politik masyarakat yang dikembangkan Datuk Ketumanggungan. Datuk legendaris minang ini mengembangkan sistem adat Koto Piliang yang memiliki filosofi “berjenjang naik bertangga turun” (bajanjang naiak batanggo turun).

Sangat gampang mengenali sistem adat koto piliang ini salah satunya dengan adanya kedudukan penghulu yang bertingkat-tingkat yang dimulai dengan penghulu andiko, penghulu suku, sampai penghulu pucuk, “bajanjang naik batangga turun, turun dari tanggo nan di ateh, naik dari janjang nan di bawah (berjenjang naik bertangga turun, turun dari tangga yang di atas dan naik dari jenjang yang di bawa).

Penghulu pucuk juga disebut sebagai pucuk nagari yang tertuang dalam filosofi adat “berpucuk bulat berurat tunggang” (bapucuak bulek, baurek tunggang).

Dalam  sistem bodi caniago, seorang pemimpin dapat disangah dan diganti, tetapi dalam sistem koto piliang gelar pusaka (penghulu) tidak bisa digantikan, sebelum penyandang gelar meninggal.

Sistem koto piliang yang dikembangkan  datuak ketumanggungan hierarkis,  Bodi Caniago dengan filosofinya “membersit dari bawah” (mambasuik dari bawah).

Museum istano Basa Pagaruyung memiliki empat unit jenjang, satu jenjang terdapat pada bagian depan, dua dibagian samping dan satu jenjang dibagian dapur, jumlah jenjang memang disesuaikan dengan letak pintu masuk.

Tetapi museum itu lagi-lagi mengadopsi jenjang dua sistem pemerintahan yang ads di Minangkabau yaitu bodi caniago dan koto piliang. Pada koto piliang jenjang ini merupan simbol adanya perbedakan kedudukan penghulu, sementara bodi caniago jenjang hanya menjadi alat untuk masuk rumah, karena dalam sistem pemerintahan tidak ada perbedaan yang digambarkan dalam falsafah adat “duduak sahamparan tagak sapamatang, duduak samo randah tagak samo tinggi”.

Rumah gadang Koto piliang memiliki dua tangga, di depan dan di belakang. tangga di depan untuk masuk dan tangga di belakang untuk ke dapur.

Sedangkan pada rumah gadang Bodi Caniago, ada tangganya yang hanya terletak di depan, di bahagian samping rumah gadang dan di belakang rumah.

Tetapi ada juga rumah gadang Bodi Caniago juga ada yang hanya memiliki satu pintu masuk yaitu dari belakang, sehingga jenjang ke dapur dengan tangga ke rumah menjadi satu.

Pada jenjang bahagian paling bawah museum istano Basa Pagaruyung diletakan batu tapakan, batu yang diletakan di bahagian tangga paling bawah untuk tempat berpijak ketika akan naik ke rumah gadang dan juga sebagai pijakan ketika sudah turun dari museum.

Pada sisi kiri atau kanan dari jenjang tersebut ada cibuak ( wadah tempat air) untuk tempat cuci kaki bagi setiap orang yang akan naik ke rumah gadang.

Cibuak yang berisi air untuk mencuci kaki diletakan sebelah kiri dan kanan adalah simbol kebersihan lahir dan batin dan air juga sebagai kesuburan, sementara maknanya adalah agar setiap tamu yang akan naik ke atas rumah harus membersihkan diri terlebih dahulu.

Sementara bagi yang menerima tamu, agar tamu yang datang diterima dengan hati suci atau hati bersih. Jelas disini memperlihatkan nilai-nilai tentang persahabatan, kekeluargaan dan saling hormat-menghormati.

Dalam pepatah juga dikatakan “Batu tapakan carano basah, cibuak marisau jolong sudah, pananjua piriang nan bapanta (Batu tapakan carana basah, cibuk merisau baru sudah, peninjua piring yang berpanta). (***)

 

Referensi

  1. A. A Navis
  2. Sangguno Diradjo, Dahler Abdul, Madjid Radjo Manjuto, Mustika Alam Minangkabau, 1979

 

 

Leave a Reply