Oleh Mohammad Aliman Shahmi
Pagi ini, saya tertahan pada suatu tulisan yang membahas tentang fenomena bandit demokrasi yang juga pernah diulas oleh Almarhum Iganatius Wibowo dalam buku Negara dan Bandit Demokrasi (2011).
Ia menggunakan tesis Mancur Olson dalam Power and Prosperity (2000), bahwa terdapat dua jenis bandit yang menyebabkan kemakmuran suatu negara tak kunjung datang selain adanya pemerintahan yang buruk.
Dua jenis bandit itu, roving bandits atau para bandit yang suka mengembara. Beralih dari satu tempat ke tempat yang lain dan selalu berupaya menanamkan pengaruh dengan cara yang jauh dari sisi normatif. Jenis yang satunya adalah Stationary Bandits atau para bandit yang suka menetap.
Jika dibawakan dalam pernyataan positif pada ilmu sosial, menurut Eric Hobswam, perbanditan ini merupakan fenomena sosial yang sudah lazim.
Keberadaannya di tengah masyarakat bisa dikatakan sebagai bagian dari dinamika sosial. Bandit yang dalam pergerakannya menunjukkan suatu tindakan yang melawan norma, hukum, dan bahkan melawan prinsip yang pernah ia tegaskan sebelumnya.
Bandit ini juga sarat dengan sikap yang tidak konsisten yang pada akhirnya ini lah yang akan merusak tatanan masyarakat yang ideal.
Cukup menarik perkara ini jika kita bawakan pada kondisi demokrasi menjelang Pilkada saat ini. Kebebasan dalam demokrasi sepertinya sisi positif yang pada akhirnya mengarahkan para pelaku atau politisi untuk melanggar hal yang normatif dalam demokrasi.
Sehingga, perbanditan dalam demokrasi ini tampak begitu nyata namun cukup mudah untuk dibenarkan, bahkan mempertanyakannya pun akan dipandang sebagai yang tidak dewasa dalam demokrasi.
Oligarki dan feodalism merupakan perbanditan yang mungkin bisa digolongkan sebagai “stationary bandits”, di mana terjadi pengendalian dan upaya pengaturan terhadap tatanan demokrasi hanya untuk sisi tertentu secara menetap dan mudah ditebak.
Adanya upaya mencalonkan anak, mantu, hingga mantan pacar pun demi melanggengkan kekuasaan. Nah, hal ini sejatinya tidak masalah, demokrasi tidak memberikan larangan kepada siapapun untuk berlaga dalam panggung politik.
Negara menjaminnya, begitulah kiranya pernyataan positif dalam sebuah proses demokrasi.
Nah, golongan yang berada di luar itu, mendukung dan membenarkan oligarki bisa dikatakan sebagai bagian dari “roving bandits” bandit nomaden atau gangster nomaden.
Motifnya sangat jelas, politik pragmatis demi mendapatkan cipratan dukungan pada perhelatan selanjutnya. Politik mencari kawan yang kemudian akan menimbulkan perlawanan, mencari kawan dengan melahirkan lawan baru.
Begitulah kiranya pola politik para roving bandits yang kemudian akan menjadi titik perlawanan pada tatanah akal sehat masyarakat. Apakah hal tersebut tidak dikehendaki dalam demokrasi? Tentu saja demokrasi menghendakinya, orang atau kelompok bebas dalam memperkuat pilihannya, namun persoalan ini akan lain jika sudah dikaitkan dengan norma, prinsip, idealism, dan keberadaban dalam politik.
Tuan-tuan sekalian, perbanditan dalam demokrasi memang benar-benar akan menghmbat kesejahteraan masyarakat, sebab politik tidak melahirkan ide baru sebagai pembaharu. Konon katanya bergerak menuju arah baru.
Pergerakan politik yang eksklusif menyuburkan pembodohan di tengah masyarakat di tengah krisis pendidikan politik yang masih belum ada penyelesaian hingga saat ini. Kita belum berbicara pada persoalan besar di tengah masyarakat seperti penguatan Sumber daya manusia, kepastian investasi, penguatan agraria, hingga rapuhnya ideologi bangsa.
Sekiranya perbanditan dalam demokrasi ini terus dibiarkan, maka impian untuk mencapai nagara sejahtera yang berkemajuan itu tidak akan pernah tercapai. Lantas, bagaimanakah para politisi itu bertanggung jawab dengan pikirannya sendiri? (apalagi rakyat, kan?)