Kelatahan Dalam Berpolitik

Kelatahan Dalam Berpolitik

- in Headline, OPINI
0

Oleh:Redni Putri Meldianto
Mahasiswa Sosiologi Agama

Di tengah situasi pandemi covid-19 euforia politik lokal semakin menggeliat. Calon kandidat kepala daerah banyak dibicarakan di media lokal maupun dunia maya.

Masing-masing partai politik menjagokan kader di daerah baik yang muda ataupun yang tua.

Komisi pemilihan umum (KPU) sudah mempersiapkan PKPU nomor 5 tahun 2020 huruf 8C mengatakan bahwa “pelaksanaan pemungutan suara serentak yang ditunda karena terjadi bencana non-alam coronavirus disease (covid-19) dilaksanakan pada 9 Desember”.

Dalam pelaksanaan pilkada serentak dilakukan oleh 224 kabupaten dan 37 kota di Indonesia.

Konsentrasi masyarakat, terutama elit lokal sudah mengarah kepada siapa kepala daerah yang layak untuk lima tahun kedepan. Ditambah lagi dengan riak media sosial dan media lokal yang semakin gencar memperlihatkan jargon dari masing-masing calon kandidat.

Elit politik tampil bak ksatria dalam berpolitik, bukankah itu akan melebar polarisasi ditengah masyarakat. Elit politik seharusnya membumikan sikap kebangsaan antara para pendukung, dan menampilkan sikap yang patut untuk diteladani oleh masyarakat bukan janji-janji kosong.

Kelatahan dalam berpolitik membuat kita tidak nyaman dalam berdemokrasi. Demokrasi yang khas akan kegembiraan dilabuai dengan berbagai ketegangan anak bangsa dalam persaingan yang tidak sehat, ketegang yang mematik ego bersama yang berlebihan bahkan menyulut emosi. Bukankan itu bukan bagian dari demokrasi yang dibalut dengan nilai-nilai budaya Indonesia.

Budaya Indonesia selalu menjunjung tinggi etika dan saling menghormati, semua itu dirampas oleh politik yang berwajah beringas. Lihat berbagai pemberitaan di media sosial yang tidak dapat untuk dibendung, dengan menyentuh hal-hal yang paling sentimen dengan harapan direspon dengan kegarangan.

Hal semacam ini harus ditinggalkan karena tidak menguntungkan dan membuang waktu untuk hal yang tidak substansi.

Ketika penggunakan teori dramatugi yang dikemukakan oleh Erving Goffman yang berkaitan dengan proses interaksi sosial yang dilakukan oleh individu, dimana ia hanya memperlihatkan tampilan atau apa yang ditampilkan oleh individu lain ( menampilkan identitas tertentu kepada khalayak di tempat tertentu ).

Dalam konteks politik ini yang ditampilkan oleh politisi, bagaimana ia mengemas dirinya dengan berbagai tagline “peduli pada rakyat”, mengunjungi pasar sambil membeli beberapa barang dagangan pedang, datang kemesjid dengan memberi sumbangan, memberi santunan anak yatim dan lain sebagainya. Dengan kata lain dermatugi digunakan untuk aksi menarik simpati masyarakat.

Untuk itu masyarakat perlu bersikap selektif dalam memilih kandidat calon kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas di etalase politik lokal.

Sehingga politik tak hanya terjebak pada simbol-simbol yang dimainkan oleh kandidat calon. Sehingga legitimasi kepada daerah semakin kuat dan kokoh guna mengayomi masyarakat untuk melakukan perubahan yang diinginkan lima tahun kedepan. (***)

Leave a Reply