Benarkah Tonggak Tuo Demokrasi di Minangkabau Sudah Rapuh? (2)

Benarkah Tonggak Tuo Demokrasi di Minangkabau Sudah Rapuh? (2)

- in BUDAYA, Headline
0

?Oleh : Nurmatias

Lapau dan Kedai
Representasi budaya politik dan demokrasi masyarakat Minangkabau bisa juga kita lihat dalam sebuah lapau (kedai). Semua isu yang terjadi dalam masyarakat biasanya dibicarakan dalam lapau, mulai masalah yang simple sampai hal yang rumit sekalian. Dinamika yang terjadi sangat harmonis dan elegan sekali. Pembicaraan yang ada melompat dari satu masalah ke masalah lain tanpa ada moderator atau narasumber yang mengatur.
Pergerakan topik pembicaraan sangat dinamis dan ?piK8mengalir begitu indah dan mulus dengan suasana hati yang serius, santai dan canda gurau serta silahturahim. Suasana yang terjadi kadangkala nadanya keras, datar dan mendayu-dayu mengikuti suara hati masing-masing komunitas lapau tersebut.
Dalam penyelesaiaan masalah orang yang tidak terakomodir pendapatnya akan keluar lapau mengakhir dari perbedaan pendapat dan argumentasi. Begitu indah suasana yang terjadi dalam lingkungan lapau. Tidak ada caci maki dan yang ada etika, norma kebudayaan, agama serta saling menghargai perbedaan.
Bahasa dan isyarat yang digunakan memakai suara hati dan pikiran jernih tidak memakai bahasa yang tidak berbudaya meskipun kita adalah suku bangsa yang mengagung-agungkan kato nan ampek (malereang, mandaki, manurun jo mandata). Etika berbicara dan berbahasa yang menggunakan suara hati dan logika berpikir yang jernih sudah mulai luntur. Begitulah bentuk pembelajaran masyarakat Minangkabau tentang berdemokrasi dan berdiskusi.
Budaya lapau di Minangkabau juga memiliki suatu pakem yang indah sekali karena tidak ada pembauran diantara kelompok masyarakat yang ada sehingga tidak terjadi pelecehan social dalam bergaul. Kaum muda memiliki satu lapau tersendiri dan miliki karakteristik sendiri sebagai tempat mangkalnya anak muda yang miliki sifat kreatif dan semangat muda yang bergelora. Orang Tua mempunyai satu komunitas lapau tersendiri yang lebih arif dan santun dalam mengemukakan pandangannya sesuai dengan umurnya.
Orang sumando mempunyai satu lapau juga dalam mengekspesikan budaya demokrasinya bagaimana menyemarakkan nagari dimana mereka tinggal. Dinamika ini terjaga dengan baik sehingga benturan-benturan social tidak terjadi. Orang tua tidak matikan kreatifitas anak muda, orang sumando yang beri warna dalam kaum tidak merasa dilecehkan dalam kancah social kemasyarakatan. Komunitas masyarakat diberikan porsi dan tempat sesuai dengan talenta yang mereka miliki.
Harmonisasi yang terjadi dalam lapau tidak lagi kita lihat dalam sistem demokrasi saat ini. Dinamika yang berkembang saat ini saat artificial sekali dan kamuflase. Suasana dalam sistem demokrasi yang terjadi dikondisikan oleh masing-masing yang punya hajat dan agenda tersembunyi. Hasil yang mereka inginkan sudah diskenariokan sesuai keinginan penggagas dengan cara memainkan jurus dan strategi yang sangat tidak elegan dan dibumbui dengan kekuatan fisik sekalian. Kita mengenal ada bumbu politik uang, pembagian kekuasaan dan pembagian wewenang pada masing-masing individu dan kelompok.
Dalam setiap keputusan rapat biasanya menghasilkan budaya kekuatan fisik ini menjadi hal yang dominan dalam menyelesaikan suatu masalah yang terjadi. Kondisi ini sangat terasa sekali dalam pembagian jabatan dan posisi di Minangkabau yang menganut dahulunya mengedepan fitrah sebagai manusia yang menjunjung tinggi prinsip homo sapien dan mengedepankan hati nurani, agama, sosial dan logika.
Gaya berbicara sangat tidak pantas meskipun kita menganggap orang terhormat tersebut sudah banyak makan garam dan ditempa pengalaman. Ilmu padi yang menjadi identik dengan orang hebat dan pintar tidak kelihatan dalam kehidupan sehari-hari. Menganggap diri mereka malaikat dan Rasul yang tidak berdosa.
Orang lain diremehkan dan menganggap mereka tidak berhasil. Itu fenomena yang terjadi tokoh-tokoh yang hebat dan sudah punya karya serta popular, sombong dalam keangkuhan diri. Padahal dalam kehidupan ini semua orang punya talenta masing-masing seperti pepatah yang sering kita dengar si lumpuh pambuih lasung, si buta pangajuik ayam, si cadiak tampek minta saran atau pandapek, si pandia ka di suruh-suruah atau setiap manusia yang lahir dimuka bumi punya kelebihan dan kekurangan, itu sudah fitrah manusia.
Tetapi kenyataan sekarang ini orang hebat dan punya karya seakan-akan paling benar dan paling tahu sehingga kesombongannya melebih kesombongan iblis atau setan. Allah saja yang maha pandai dan tidak ada banding dengan ciptaannya tidak pernah sombong dengan kehebatannya. Itu realita yang terjadi dalam masyarakat, terutama publik pigure yang sudah hebat tidak lagi menjadi contoh yang baik dan suri tauladan bagi komunitasnya.
Keangkuhan dan kesombongan sudah menjadi pakaian dan gaya hidupnya. Atau seperti itu stye orang dalam mengekspresikan kehebatannya, kita tidak tahu atau perlu kita tanya pada rumput yang bergoyang kata bait lagu Ebiet G Ade. Pengambilan suara dengan pengumpulan jejak pendapat (voting) tidaklah benar dalam kacamata sekarang ini karena biasanya pendapat suara terbanyak belum tetentu mewakili aspirasi masyarakat.
Dalam wadah demokrasi saat ini kepentingan golongan dan kelompok yang menjadi hal yang harus dikawal dan dibela habis-habisan, meskipun subtansi dari permasalahan yang ada hanya memberikan keuntungan kepada kelompok atau golongan. Orang yang sedikit jumlah suaranya pendapatnya dalam wadah demokrasi dianggap salah dan tidak perlu diberikan apresiasi. Penghargaan kepada yang benar dalam negeri ini sudah tidak kelihatan lagi, yang penting suara terbanyak yang harus ditegakkan bukan sunatullah kebenaran yang dijunjung tinggi.

Rumah Gadang atau Bagonjong
Hati nurani saat ini tidak tersalurkan dengan baik sehingga menodai perasaan dan fitrah sebagai manusia yang diciptakan punya panca indra yang sempurna dibandingkan mahkluk lainnya. Dalam mengambil keputusan dalam demokrasi di masyarakat Minangkabau tidak lagi mengedepankan harkat hidup orang banyak. Kondisi ini dapat kita lihat dari segala aspek kehidupan masyarakat.
Para pengambil keputusan biasanya menimbang suatu keputusan dalam tataran untung rugi secara ekonomi bukan hati nurani atau kepentingan masyarakat. Keiklasan dan ketulusan hati sudah mati kita rasakan pada saat ini. Setiap kebijakan dan keputusan pasti ada agenda tersembunyi untuk popularitas, ingin dikenal dan ria. Setiap kebijakan harus diekspose media dan dipublikasikan.
Coba kita lihat realita yang ada,untuk mengambil simpatisan masyarakat dengan politik uang, menyumbang kepada kepenting masyarakat mesti ada publikasi yang hebat, setiap kampanye ingin membantu masyarakat. Tetapi setelah mendapatkan posisi atau kedudukan komitmen dan integritas jauh panggang dari api.
Politik pencitraan sudah menjadi hal yang biasa tetapi kenyataan yang ada politik pencitraan ini merusak kridebilitas tokohnya dibelakang hari.Pencitraan yang terjadi memang dibalut kebohongan belaka dan dibenarkan dengan cara memberikan informasi kepada masyarakat seakan-akan tokoh yang kita punya kredibilitas, kompetensi dan intergritas yang hebat. Tetapi akhirnya topeng dan kedok yang mereka pakai akan kelihatan sedikit demi sedikit sesuai dengan bergulirnya waktu.
Akibat politik pencitraan yang tidak positif mengakibatkan beberapa banyak tokoh-tokoh yang berurusan dengan pihak penegak hukum karena misi yang mereka ingin bukan untuk membantu masyarakat. Tetapi bagaimana masyarakat dikelabui untuk mendapatkan posisi terhormat dan kedudukan ini digunakan sebagai alat untuk merusak tatan kehidupan yang ingin dicapai.
Berapa banyak tokoh-tokoh politik yang harus rela masuk kedalam sekolah etika atau rumah perenungan diri akibat dari agenda politik yang salah. Dalam catatan sejarah yang kita baca pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Kondisi ini tidak pada saat ini, pemimpin pujaan saat ini adalah bagaimana bisa mengelabui masyarakat dengan wajah melakonlisnya dan belaskasihan atau minta dukungan ke masyarakatnya.
Bukan masyarakatnya yang minta belaskasih kepada pemimpinya itu premis yang benar menurut logika berpikir kita.
Demokrasi di rumah bagonjong atau gadang saat ini sudah hancur tidak berfungsi lagi, dahulu rumah gadang identik dengan domain demokrasi. Interaksi antara komunitas yang merupakan bagian dari isi rumah gadang sudah mulai menghilangkan fungsi institusi rumah gadang. Tiang tuo rumah gadang sudah tergadai atau terjual oleh pendukungnya. Ekosistem rumah gadang sudah tidak memfungsikan rumah gadang seperti fitrahnya.
Rumah gadang hanya sebagai symbol keberhasilan seseorang dalam merantau pada saat ini . Coba kita lihat berapa banyak rumah gadang dibangun hanya sebagai simbol keberhasilan komunitas merantau. Keberhasilan merantua bisa kelihatan dengan tiga symbol yaitu mendirikan masjid, menjadi datuk atau penghulu atau membangun rumah gadang. Semua bentuk keberhasilan hanya artificial dan kamuflase tanpa menyentuh subtansial permasalahan yang terjadi di rumah gadang.
Dahulu kita mengenal rumah gadang berfungsi sebagai tempat tinggal, belajar berdemokrasi dan hajatan tapi sekarang fungsinya hanya sebagai simbol keberhasilan seseorang. Atau memang kondisi rumah gadang harus mereposisikan bentuk karena globalisasi yang menghalalkan segala cara untuk pemuasan diri individu rumah gadang.
Rona rumah gadang sudah kusam dimakan waktu atau memang rona ini dikusamkan oleh masyarakatnya yang tidak lagi perhatian kepada keberadaanya. Berapa banyak kejadian yang kita lihat saat ini yang tidak lumrah terjadi, kemenakan membunuh, mamak memakan kemenakan perempuannya, ayah membunuh anak, anak menghabisi hidup ibu kandungnya atau hal yang sejenis. Kepala kita sudah diisi cairan yang mudah meledak sehingga akal pikiran dan suara hati kebenaran sudah hilang.
Rumah gadang yang dahulunya kita kenal sebagai multifungsi sekarang hanya sebagai tempat yang sudah dikosongkan oleh masyarakatnya. Dalam kondisi saat ini rumah gadang lambang kesombongan keberhasilan orang yang merantau atau dibuka apabila penghuninya pulang dari rantau atau dalam kegiatan tertentu.
Kemudian yang kita lihat saat ini hanya rumah gadang yang angker untuk ditinggalkan. Atau kenikmatan yang sudah didapat perwakilan dari masyarakat sehingga lupa dengan fungsinya sebagai perpanjangan lidah masyarakat. Mereka hanya memikirkan kesenangan yang abstrak sedangkan janji dan komitmennya tidak dihiraukan lagi.

Epilog
Fenomena-fenomena ini yang kita rasakan saat ini, apakah kita masih tetap memakai mindset yang salah atau kita kembalikan ke karakter masyarakat kita yang menjunjung perbedaan dan berakal budi. Pendidikan karakter dan pekerti masyarakat perlu dibina lagi. Tanpa karakter hidup ini sia-sia karena kita diciptakan memang sudah berbeda oleh sang khalik dan tidak sama, tetapi dalam keberbedaan kita harus bisa memformulasi keindahan untuk damai.
Kedamaian sudah barang yang susah dicari dan didapatkan. Dahulu kita merasakan betapa indahnya hidup ini dalam keterbatasan, sekarang segala fasilitas ada tetapi masyarakatnya tidak mengenal budaya yang mengutamakan logika berpikir, fitrah dan hati nurani. Apakah virus individualis dan materalistis yang merubah karakter masyarakat kita atau gaya hedonism yang menjadi tujuan hidup kita.
Budaya itu memang sedang gencar menghadang kita tetapi kita punya filter yang dapat membendungnya. Sekarang tinggal kita yang dapat mengeliminir virus ini dengan kembali mempelajari kearifan local yang kita miliki karena kearifan local yang kita miliki masih yang terbaik dalam pergaulan hidup umat manusia di ranah Minangkabau ini.
Fungsikan elemen yang ada sesuai dengan format dari masing-masing unsur yang ada dalam tatanan masyarakat Minangkabau. Dengan kembalinya ke warna asli dari bentuk akar budaya yang kita miliki benturan-benturan budaya tidak pernah bergesek keras. Itulah orkes simponi hidup yang memainkan peran dan tipikalnya sesuai dengan warna asli.
Dengan kita memaknai intrumen demokrasi yang ada dalam kazanah budaya Minangkabau kita dapat menhargai hidup ini lebih baik. Medan nan bapanerh, Lapau dan rumah gadang merupakan fasilitas dan kawahcandra dimuka masyarakat Minangkabau dalam berdemokrasi. Mudah-mudahan local wisdom atau local genius yang kita miliki dapat menata bentuk demokrasi di Minangkabau lebih baik. Permasalahan timbul karena kita tidak lagi memberdayakan institusi yang kita miliki. Institusi medan nan bapaneh, lapau dan rumah bagonjong merupakan saksi yang dapat kita petik manfaat dalam meniti kehidupan di dunia ini.

Daftar Pustaka
Aboe Nain, Sjafnir , Tuanku Imam Bonjol : Sejarah intelektual Islam di Minangkabau 1784-1832. Padang : Esa, 1988.
Amran, Rusli, Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta : Sinar Harapan, 1985.
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, Selintas Prasasti dari Melayu Kuno, BPPP Batusangkar, 2006
Boechari, Daftar Prasasti Adityawarman, Naskah transkripsi, tampa penerbit, tampa tahunan
Casparis,J.G de, “ Kerajaan Melayu dan Adityawarman”’ Dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno. Jambi: Pemda Tk. I Jambi dan Kanwil Depdikbud Jambi, 1992 hlm. 51-80
Dobbin, Christine, Gerakan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah Sumatera Barat 1784-1847, INIS, 1992
Hamka, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Djakarta : Panji Masyarakat. [1974].
Harahap, Basyral Hamidi, Greget Tuanku Rao. Jakarta : Komunitas Bambu, 2007.
Kahin, Audrey, Dari Pemberontak ke Integrasi (Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998), Yayasan Obor Indonesia, 2005
Mach Suhadi, silsilah Adityawarman, “ dalam Kalpataru Majalah Arkeologi No. 9 (Saraswati:Esai-Esai Arkeologi) Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional: Depdikbud, 1990 hal. 218-239
M. Nur. “Bandar Sibolga di Pantai Barat Sumatera: Pada Abad ke-19 Sampai Pertengahan Abad ke-20”. Disertasi. Pascasarjana FS-UI, 2000.

Navis, A.A, “Alam Terkembang Jadi Guru,” Temprint, 1984
PPIM, Ensklopedi Minangkabau. Jakarta : PPIM, 2005.
Schnitger F. M, Forgotten Kingdoms of Sumatera, C.J. Brill. 1939
William Marsden (ed), Sejarah Sumatra, (Terjemahan), (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999).
Zed, Mestika, Melayu kopi daun : Eksploitasi kolonial dalam Sistem Tanaman Paksa Kopi di Minangkabau Sumatera Barat (1847-1908)”. Thesis. Jakarta : Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Sejarah Indonesia Pengkhususan Sejarah Indonesia Universitas Indonesia, 1981.

Leave a Reply