Penghadangan itu dilakukan nelayan bagan, pasalnya nelayan beralasan penertiban yang dilakukan petugas tanpa sosialisasi dan pemberitahuan sebelumnya oleh petugas.
sementara bagan merupakan salah satu alat mata pencarian masyarakat di sekitaran Danau Singkarak.
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, penertiban bagan untuk menjaga populasi ikan bilih yang saat ini terancam punah dan menjaga ekonomi nelayan tradisional yang kehidupannya bergantung pada ikan bilih.
Tetapi penertiban yang dinilai tanpa pemberitahuan dan sosialisasi terhadap nelayan membuat nelayan di Muara Pingai melakukan penghadangan sampai ada kejelasan nasib mereka setelah bagan ditertibkan.
Bhabinsa setempat terlihat melakukan negoisasi kepada para nelayan yang membuka sendiri bagan-bagan mereka hal itu sesuai dengan Pergub yang melarang bagan beroperasi di salingka danau.
Setelah dicapai kesepakatan, nelayan akan membuka bagan-bagannya sendiri, akhirnya tim penertiban bergerak kelokasi selanjutnya.
Berbicara mengenai penghadangan yang dilakukan nelayan, karena tim penertiban menurut keterangan nelayan tanpa didahului sosialisasi tetapi langsung terjun kelokasi dengan memutus sendiri bagan-bagan milik nelayan.
Penertiban bagan dengan cara begitu jelas sangat merugikan nelayan, pasalnya untuk membangun alat tangkap itu banyak nelayan yang terpaksa berhutang ke bank.
“Untuk membuat bagan dananya berasal dari pinjaman bank, hasil tangkap bagan itu sendiri digunakan biaya hidup dan biaya sekolah anak-anak,” ujar M Nur salah seorang nelayan bagan di Muaro Pingai.
Sementara ekonomi masyarakat setempat tergantung dari bagan yang sudah dibongkar dalam penertiban itu.
Seharusnya kata M Nur pemerintah memikirkan nelayan yang sudah teraniaya. Nelayan berharap agar pemerintah mempunyai solusi terhadap pemnertiban bagan yang membuat rakyat teraniaya.
“Kami sudah sangat lelah, tanpa solusi tanpa ada duduk semeja, ” ucapnya.
Alasan pemerintah pembersihan alat tangkap bagan itu kata bagan dianggap menganggu estetika dan kebutuhan pariwisata, idealnya menurut nelayan bila menjadikan danau Singkarak untuk Pariwisata, seharusnya ada batas-batas yang jelas.
Nelayan bagan sendiri sudah berlansung dari tujuh tahun lalu. “Pemerintah selama ini hanya mengajak berkumpul nelayan tradisional sementara nelayan bagan atau Jaring Angkat tidak pernah diajak kumpul sama sekali,” katanya.
Sementara salah seorang ibu-ibu nelayan bagan dengan isak tanggis menyampaikan sudah lelah menghadapi penertiban bagan. Dia meminta agar pemerintah juga memikirkan solusi hidup mereka andai bagan ditertibkan.
Nelayan berharap agar pemerintah mengajak mereka untuk duduk semeja mencarikan solusi hidup bagi nelayan bagan bila bagan-bagan mereka ditertibkan.
“Kami sangup meninggalkan nagari sangup tapi kami minta solusi bagan selanjutnya,” ujarnya.
Saat ini hasil tangkap nelayan bagan berdasarkan penuturanan berapa nelayan hanya 3 kilogram bili perbagan dengan nilai jual 50 ribu rupiah perkilonya.
Nelayan berjanji akan menutup membuka sendiri bagan mereka bila sudah ada solusi mereka selanjutnya.
M Nur, menilai Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Sumatra Barat memanipulasi data jumlah nelayan yang ada di salingka danau Singkarak, berdasarkan data DKP Sumatra Barat jumlah nelayan tradisional sebanyak 5.719 nelayan, faktanya jumlah nelayan hanya sekitar 500 orang.
Tim eksekutor yang terdiri dari DKP dan Polisi Pamong Praja Provinsi Sumbar tiba dilokasi langsung disuruh mundur nelayan. Akhirnya, petugaspun mundur dan tidak bisa membongkar bagan yang ditengah danau. (TIA)