PAPUA, bakaba.net — di masa kolonial disebut juga sebagai Boven Digoel atau Digul. Daerah dengan tanahnya yang merah tidak hanya karena kontur alamnya saja, tetapi juga merah oleh banyak pengorbanan para tahanan yang dibuang ke sana.
Dalam sejarah perkembangannya, Digul menjadi daerah tempat pembuangan tahanan-tahanan politik pada masa itu. Interneringskamp, atau tempat pembuangan dalam negeri yang dibangun dan dibuka pada awal 1927.
Pembangunan tempat pembuangan ini dilakukan oleh narapidana-narapidana, yang dikomandoi oleh Kapten Infantri L.Th. Becking, yang pada tahun 1926 memimpin pemberontakan petani di Banten. Interneringskamp Digul berada di bawah Onderafdeeling Boven Digul atau Residensi Digul Hulu.
Pengelolaannya mutlak berada di bawah komando militer pemerintah kolonial.
Dengan dibukanya tempat pembuangan Digul, pembuangan yang biasanya dilakukan ke luar negeri mulai dihentikan oleh pemerintah.
Orang-orang yang terlibat dan bersimpati pada pemberontakan yang terjadi di sepanjang tahun 1926-1927 dibuang ke Digul tanpa melalui putusan pengadilan sebelumnya, karena adanya Exorbitante Rechten (Hak-hak Istimewa Gubernur Jendral) yang diturunkan pada para residen yang wilayahnya mengalami pemberontakan pada tahun-tahun tersebut, dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Sepanjang tahun-tahun tersebut sebanyak 823 tahanan dibuang ke Digul.
Namun besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mengurusi kamp pembuangan Digul mulai menjadi masalah yang serius. Bahan makanan dan fasilitas kesehatan adalah dua bidang yang memakan biaya paling besar dari keseluruhan penggunaan anggaran Digul.
Hal ini disebabkan karena tanah Digul tidak cocok diolah menjadi tanah pertanian, sehingga pasokan bahan makanan terpaksa diimpor dari berbagai wilayah lainnya.
Oleh karena itu besarnya biaya kamp Digul mulai menjadi pergunjingan di Volksraad. Apalagi defisit keuangan yang terjadi pada pemerintah kolonial beriringan dengan terjadinya krisis ekonomi global atau Maleise yang melanda sebagian besar wilayah Eropa, dan berdampak pada wilayah-wilayah koloni mereka, termasuk Hindia Belanda. Ini juga berdampak pada perkembangan Digul.
Anggaran operasional Digul dipotong oleh pemerintah kolonial. Bahan makanan menjadi lebih sulit didapatkan, sehingga banyak dari pegawai administratif dan tahanan Digul yang menderita kelaparan. Namun, bukan hanya kelaparan yang menjadi momok ketakutan mereka yang berada di Digul. Wabah penyakit Malaria menjadi hantu yang membayangi keseharian mereka.
Satu persatu dari mereka mulai berjatuhan terserang penyakit malaria.
Ada beberapa jenis malaria yang berkembang di Digul. Malaria Tropika adalah yang paling umum ditemui pada masyarakat yang tinggal di Digul.
Namun, malaria jenis ini bukanlah yang paling ditakuti oleh masyarakat Digul. Malaria Hitam, adalah jenis malaria yang menjadi teror paling menakutkan di Digul. Sebutan malaria hitam dikarenakan efek yang ditimbulkannya.
Para penderita malaria hitam akan mengalami muntah berwarna hitam, buang air kecil dan besar yang berwarna hitam, kemudian akhirnya meninggal.
Pemerintah kolonial Belanda di Digul mendirikan sebuah rumah sakit yang diberi nama Wilhelmina Zieken Huis. Dibandingkan dengan rumah sakit lain di kota kabupaten waktu itu, rumah sakit ini jauh lebih besar dan perlengkapannya pun jauh lebih baik. Cukup besar dan memiliki zaal khusus untuk pria dan wanita, kamar‐kamar untuk penyakit yang perlu dikarantina, kamar operasi, apotek, laboratorium.
Untuk mengatasi penyebaran wabah penyakit malaria, dibuat sebuah biro khusus untuk Malaria Bestrijding (pencegahan malaria).
Biro ini meliputi petugas-petugas pengasapan yang disediakan tiga buah kapal untuk berkeliling Digul, petugas-petugas vaksin yang berkeliling memberikan pil kinine untuk penduduk Digul, bangsal-bangsal khusus penderitam Malaria dan juga laboratorium khusus yang meneliti mengenai Malaria.
Selain itu, pemerintah kolonial sering mengirimkan ekpedisi peneliti Malaria ke daerah Digul. Akan tetapi tidak sedikit di antara para peneliti tersebut yang tumbang dan menyerah akan malaria. Sebagian besar dari mereka kembali, dan sebagian kecil bertahan di Digul, walaupun tidak sedikit dari sebagian kecil itu yang akhirnya tewas karena penyakit Malaria Hitam.
Para interniran yang ada di Digul setiap sore diharuskan datang ke rumah sakit untuk antre mendapatkan pil kinine. Pil kinine merupakan satu-satunya obat pada saat itu untuk menyembuhkan penyakit malaria. Karena itu untuk pencegahan, setiap hari penghuni Tanah Merah diharuskan minum pil kinine.
Orang dewasa diharuskan meminum 3 butir dan anak‐anak 2 butir kinine. Katanya ini untuk profilaksi atau pencegahan. Dan keluarga atau orang‐orang yang tidak mau datang antre minum pil kinine bisa dicap anti pemerintah dan digolongkan orang‐orang yang membangkang yang bisa berakibat fatal, yaitu tempat pengasingannya bisa dipindahkan ke Tanah Tinggi, yang lebih dekat ke wilayah pedalaman Digul.
Begitu menakutkannya penyakit Malaria di Digul, pemerintah kolonial bahkan membagikan kelambu militer sesaat sesudah kapal yang membawa orang-orang ke Digul berlabuh.
Hal ini disebabkan karena souvenir pertama yang didapatkan setiap orang yang datang ke Digul adalah gigitan nyamuk. Teror malaria sesungguhnya di mulai dari sini. Ukuran nyamuk yang lebih besar dari ukuran nyamuk di wilayah lain (sebesar lalat), membuat bekas gigitan nyamuk tersebut tidak lagi gatal, tetapi sakit dan mengeluarkan darah.
Dan jumlah nyamuk yang menyambut pendatang ke Digul tidak terhitung jumlahnya. Oleh karena itu di setiap barak interniran yang berada di tepian sungai digul itu diharuskan menggunakan kelambu yang diberikan pihak militer pada saat kapan berlabuh tersebut.
Hal ini dilakukan untuk mengendalikan perkembangan wabah penyakit malaria di Digul.
Dalam berbagai laporan pemerintah kolonial, banyak interniran dan tahanan yang mencoba untuk melarikan diri dari Kamp Digul. Ada yang mencapai bibir pantai, namun ada yang tersesat hingga ke tengah hutan dan bertemu dengan penduduk asli Digul.
Kedua situasi ini tentu saja tidak menguntungkan bagi para tahanan tersebut. Ke pantai, mereka akan bertemu pasukan kolonial yang dengan sigap bersedia mengembalikan mereka kembali ke kamp Digul, tentu saja dengan disertai siksaan dan penganiayaan terlebih dahulu sebelum mereka dikirim kembali ke kamp.
Namun jika bertemu dengan penduduk asli, justru akan lebih berbahaya. Tidak jarang interniran yang tersesat ke dalam wilayah penduduk asli tersebut dibunuh, karena dianggap sebagai penyusup.
Pada akhirnya mereka hanya bisa berdiam menunggu di dalam Kamp Digul sampai masa hukumannya berakhir, dan mereka kembali ke daerah asalnya, sambil mengantongi cerita mimpi buruk teror yang menghantui mereka selama di Kamp Digul tersebut. (***)