Jakarta. bakaba – Rumah Panarukan yang terletak di Menteng Jakarta Pusat menjadi lokasi buku “Pesona Songket Minangkabau” yang merupakan buku wastra The Songket Of Minangkabau Raising Hidden Threads” pada Rabu (02/05). Buku karya Puan Puti Reno Sativa Sutan Aswar atau yang lebih akrab di sapa Atitje yang melakukan penelitian tentang Songket Minangkabau kainnya para raja-raja dan datuak di Minang.
Ketika memasuki rumah panarukan yang terdapat dikawasan elit di Jakarta Pusat tersebut, kain-kain songket tempo dulu lansung menyambut kedatangan saya, berbagai koleksi dari pecinta songket di pamerkan dengan penataan dan pencahayaan yang sangat artistik membuat kain adat asal Minangkabau itu terlihat sangat elegan dan berkelas.
Dalam pameran tersebut saya melihat songket tapak raja, kain adat yang hanya digunakan pada acara-acara adat pada masanya, salah satunya saat “Malewakan” gelar datuak pucuak pada salah satu kaum.
Kain songket yang dipamerkan pada sisi kiri dalam kegiatan lounching buku “Pesona Songket Minangkabau merupakan koleksi pribadi Ida Hasyim Ning, Miranda Gultom, Darwina P. Sutowo serta koleksi rumah pesona kain.
Sementara pada sisi kanan terlihat songket-songket asli Minangkabau dari abad 19 – 20 koleksi pribadi Puan Puti Reno Sativa Sutan Aswar. Meski sudah berumur sangat tua, songket-songket itu sangat terawat. Bagi saya pribadi ini seperti sebuah mimpi bisa melihat dan meraba secara lansung songket pada abad ke 19 dan 20 tersebut. Begitu berbudaya tingginya orang Minangkabau pada masa itu, sehingga bisa menghasilkan kain yang sangat indah serta mengandung makna pada setiap motifnya.
Saya seperti memasuki lorong waktu tempo, terbayang dipelupuk mata pancaran kecantikan perempuan Minangkabau yang terkenal anggun dan cantik ketika mengenakan kain adat itu. Corak motif menghiasai songket tentu menambah kecantikan gadis-gadis kemayu dari ranah Minang.
Gemercik suara air dan ikan-ikan yang berenang kian kemari serta lampion-lampion yang bergelatungan mengingatkan saya pada kejayaan kerajaan Minangkabau yang pernah berjaga pada masanya. Uni Atitje yang cantik ini seperti ingin menghadirkan suasana ranah Minang di rumah panarukan itu.
Kenapa saya menyampaikan seperti itu, karena dalam setiap sentuhan selalu ada nuasa Minangnya, tidak hanya kain-kain tempo dulu yang menghiasi setiap sudut di rumah panarukan ini, tetapi berbagai ornamen Minangkabau juga dapat kita saksikan sebagai hiasan yang mempercantik setiap sudut-sudutnya. Sebut saja carano tempat siriah ketika ada acara-acara adat, tetapi saat ini digunakan sebagai jambangan bunga, sedangkan dulang kuningan menjadi tempat snack yang berasal dari Minang.
Setiap kain yang di pamerkan pada lounching buku pesona Minangkabau tersebut, baik yang berwarna cerah atau lembut maupun berwarna gelap. Begitu juga motif yang terdapat pasa kain satu dan lainnya juga berbeda, ada dengan corak yang dipenuhi warna kuning emas, begitu juga dengan desain yang sederhana. Tapi setiap kain itu seperti memiliki makna tersendiri yang tidak bisa diwakili dengan kata-kata. Entah karena kain tersebut dibuat penuh cinta oleh jemari-jemari lentik perempuan Minang, atau karena setiap motif memiliki arti tersendiri sehingga setiap kain terlihat elegan.
Khusus untuk panggung kegiatan di hiasai dengan tabir berwarna kuning, sementara kilauan emasnya seperti menyihir mata tamu undangan agar tetap mengarahkan pandangan pada panggung, sementara sisi kiri dan kanan panggung terdapat payung kuning, payung yang hanya digunakan untuk memayungi para raja Minangkabau dan datuak-datuak di luhak nan tigo yaitu, luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak 50 Kota.
Dan belumlah lengkap bila setiap “Alek” di Minangkabau tidak memasang “Marawa” yang menanda akan dilaksanakannya sebuah pesta besar di dalam “Kampuang”. Marawa ini juga di hadirkan uni Atitje dalam peluncuran bukunya itu. Marawa dengan tiga warna hitam, merah dan kuning mewakili tiga Luhak yang ada di Minangkabau.
Musik tradisional Minangkabau mengiring tamu yang datang melihat koleksi kain songket yang di pameran serta menghadiri kegiatan lounching buku pesona songket sehingga suasana Minangkabau sangat terasa kental dalam ruang yang tertata apik tersebut.
Ratusan undangan yang hadir juga terlihat seperti sedang bernostalgia dengan kemegahan songket tempo dulu, seperti songket yang di pakai Miranda Gultom memakai songket warna unggu, terlihat sangat elegan dengan penampilan perempuan asal Koto Gadang Bukit Tinggi ini yang masih tetap enerjik.
Menurut Miranda Gultom motif songket yang dia gunakan merupakan motif lama, karena rasa cintanya pada songket, maka motif tersebut dipindahkan pada songket warna unggu yang dipakainya.
Dalam kegiatan lounching buku karya uni Atitje ini, para pengunjung benar-benar dimanjakan oleh sang tuan rumah, bagaimana tidak mata dipuasin dengan melihat-lihat pameran songket tempo dulu, berbagai motif dan warna songket hadir ditenggah-tengah pengunjung, sementara telingga di manjakan dengan alunan musik-musik yang berasal dari daerah ber”Adat” tersebut.
Nah sekarang saatnya kita kepoin menu yang dihadirkan tuan rumah pada kegiatan itu. Berbagai menu Minangkabau enak, gurih dan maknyus dapat memanjakan lidah para tamu.
Kita awali dengan snack dulu ya, yang dari Minang pasti tahu dengan “Lapek Baluo” yang zaman dulunya hanya di hadirkan pada acara-acara adat. Makanan kecil yang terbuat dari beras ketan putih dan didalamnya isi dengan kelapa parut yang dimasak dengan gula aren, tetapi lapek baluo yang dihadirkan dengan kombinasi daging yang dimasak dengan bumbu dan rempah dari ranah Minang. Lapek ini selain enak juga bergizi tentunya.
Makanan kecil lainnya ada “Katan Sarikayo”, katan sarikayo. Nah pasti mau tahu kan katan sarikayo ini. Katan sarikayo merupakan makanan ringan ranah Minang yang tetap mengunakan beras ketan yang bungkus pakai daun pisang dan direbus dengan api sedang sampai mencapai matang yang di inginkan, sementara sarikayo teman ketan/lapek ini terbuat dari tepung, telur serta bumbu-bumbu warisan Minang yang di racik dengan sempurna sehingga menghasilkan citra rasa yang sangat lezat.
Sekarang bakaba.net akan mengulik makan malam para tamu undangan yang tentunya masih berasal dari Minangkabau. Ada “Sate Padang”, sudah pada tahu dan coba sate berkuah kuning ini kan. Lalu ada “Randang Paru”, nah pada binggungkan dengan rendang paru karena biasa yang ada itu hanya randang dagiang, ayam, lohan.
Memang perempuan Minang terkenal jago dalam memasak. Lalu ada goreng petai balado, dadar talua, gulai pucuak ubi, dan makan belumlah lengkap bila tidak ada samba lado dan kali ini samba lado hijau dan peyek padang merupakan pilihan yang disajikan untuk para tamu undangan.
Sekarang timbul pertanyaan apakah uni Atitje sengaja membawa ahli-ahli memasak dari kampungnya?. Ternyata tidak semua masakan itu sengaja di masak dan disajikan putra terkasih uni Atitje untuk mama tercinta, meski putra dan putri Atitje tidak lahir dan besar di ranah Minang tetapi putra dan putri itu selalu di ajarkan masalah adat dan etika orang Minang yang merupakan jati diri yang tidak pernah hilang.
Orang Minang memang terkenal jago dalam meracik berbagai bumbu dan dari jemari-jemari lentik perempuan Minang, selalu tersaji beraneka makanan dengan citra rasa yang tiada tandingannya. Bagi saya perempuan Minang begitu sempurna, selain terkenal dengan kecantikan dan kecerdasan serta tangguh, perempuan Minang juga terkenal santun, rajin beribadah dan pandai mengurus rumah, sebuah pelajaran yang selalu diajarkan para bundo kanduang kepada gadis-gadis mereka yang merupakan “Sumarak Rumah Gadang. (TIA)