Persoalan sampah yang menyampah membuat kotor kota saya

Persoalan sampah yang menyampah membuat kotor kota saya

- in Feature, Headline
0

“Menyelesaian persoalan sampah tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi membutuhkan suatu komitmen yang kuat agar masalah limbah itu bisa teratasi sehingga terjaga kebersihan lingkungan.”

Mengacu pada UU No 18 tahun 2008 tentang pengelolahan sampah, sampah disebutkan sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia atau proses alam yang berbentuk padat atau semi padat, berupa zat organik atau anorganik bersifat dapat terurai ataupun tidak terurai yang dianggap tidak berguna dan dibuang.

Persoalan sampah ini menarik untuk diulas, kenapa tidak, gara-gara sampah yang menyumbat irigasi bisa membuat satu kampung terendam.

Gara-gara sampah, bisa mendatangkan wabah penyakit yang ditularkan oleh lalat yang bertebangan hinggap pada makanan.

Gara-gara sampah ini juga bisa menyebabkan masyarakat memaki Wali Kota maupun Bupati, apalagi bisa persoalan persampahan itu sudah mendatangkan bau yang menyebar kemana-mana, ratusan bahkan ribuan lalat yang bertebangan dan berpesta.

Andai hal itu terjadi, sang bupati dan walikota bakal viral dinyinyirin nitizen, apalagi nitizen Indonesia paling aktif di Sosmed.

Masih gara-gara sampah ini, saya rela berjam-jam memperhatikan petugas K3 yang kini disebut pasukan biru membersihkan setiap sudut di kota tempat saya tinggal.

Saya tinggal di Kota Batusangkar, kota kecil yang juga disebut sebagai kota budaya dan seharusnya penetapan kota budaya itu membuat warga kota malu membuang sampah disembarang tempat, baik itu di pinggir jalan, disaluran air atau membuang di jalanan.

Dari kejauhan kembali saya memperhatikan petugas K3 itu menyapu setiap jengkal jalan ditenggah hilir mudiknya kenderaan dan pejalan kaki.

Ia tidak menghiraukan hiruk pikuk ruas jalan, tapi tetap fokus pada sapu dan membersihkan sampah-sampah yang berserakan.

Dulu ketika saya pernah tinggal di samping salah satu swalayan di Batusangkar, sebelum subuh saya sudah mendengar suara sapu yang beradu dengan aspal, dan sebelum pukul tujuh ruas-ruas jalan harus sudah bersih dari sampah, sementara mobil-mobil sampah juga menjemput sampah ke komplek-komplek perumahan.

Dan bila hari balai (Kamis red), petugas K3 itu akan bersitungkin membersihan tumpukan-tumpukan sampah baik dalam balai maupun di ruas jalan.

Petugas K3 itu sering pulang larut malam ke rumah dan beristirahat sejenak karena besok pagi kembali mengayunkan sapu untuk membersihkan sampah.

Saya jadi teringat waktu liputan mountain bike 15 hari di Malaysia. Di Malaysia yang sama-sama rumpun Melayu dengan Indonesia, warganya tidak membuah sampah dijalan, dibandar maupun dipinggir jalan.

Warga Malaysia akan mengantongi sampahnya dan baru membuangnya ketika sudah sampai dirumah.

Begitu juga dengan masyarakat Jepang, bukankah pernah viral warga matahari terbit itu membersihkan stadion bola usai menonton kesebelasan mereka berlaga.

Padahal sebenarnya tidaklah sebuah keanehan warga Jepang itu membersihkan sampah-sampah yang berada disekitar mereka, karena itu sudah menjadi sebuah kebiasaan yang mendarah daging, menjadi kebiasaan, justru bagi mereka aneh saat melihat masyarakat Indonesia membuang sampah seenaknya.

Pernah juga saat saya kedatangan tamu dari Australia yang kebetulan tinggal berhari-hari di rumah saya. Ia sangat menikmati keindahan alam Tanah Datar, kami menanam padi di sawah, memandikan kerbau dan memasak dengan kayu.

Tapi saat bicara soal sampah, ia mengatakan kebiasaan membuang sampah sembarangan itu jorok membuat sungai-sungai di sini kotor karena sampah, jalan-jalan dipenuhi oleh sampah.

Tiba-tiba aku tersentak dari lamunan, seseorang diatas mobil mewah membuang sampah dijalanan yang baru saja dibersihkan petugas K3.

Seperti inikah gambaran warga kotaku? Sehingga persoalan sampah itu hanya menjadi tanggung jawab petugas K3 yang bergaji tidak seberapa itu?

Berlahan saya mendekati petugas K3 dan berusaha menyapa saat ia beristirahat sejenak.

Ia mengatakan, orang-orang bermobil, pejalan kaki bahkan anak sekolah sering membuang sampah bahkan didepannya saat sedang menyapu.

Terkadang rasa perih hadir menyelinap saat menyaksikan hal itu, tapi segera mengusir rasa perih itu sambil membahtin membersihkan sampah pekerjaanya.

“Saya berharap, mohon masyarakat juga ikut menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan,” ujarnya sambil tersenyum dan kembali menyapu.

Padahal andai warga kota tempat saya tinggal ini menyadari persoalan sampah ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah dan petugas K3 tentunya sampah itu tidak menyampah, tentunya petugas K3 itu juga tidak perlu bekerja seberat ini.

Padahal tidaklah susah memilah sampah yang bisa didaur ulang dan tidak, padahal tidaklah susah membuat lubang dibelakang rumah untuk membuang sampah-sampah sehingga bisa jadi pupuk tanaman. Padahal tidaklah susah membuang sampah ke tempat pembuangan sementara sehingga tidak menumpuk dikomplek-komplek.

Andai warga kota tempat saya tinggal masih nakal, beranikah pengambil kebijakan itu membuat peraturan daerah tentang persampahan? (***)

Leave a Reply