Penegakan Sanksi Terhadap Poligami Tanpa Izin

Penegakan Sanksi Terhadap Poligami Tanpa Izin

- in Headline, OPINI
0

Oleh: Shafra
Mahasiswa S3 Ilmu Syariah UIN Bukitinggi

Poligami di Indonesia merupakan isu yang kompleks, terkait erat dengan norma budaya, agama, dan hukum. Meski diakui oleh hukum Indonesia, praktik poligami harus memenuhi syarat yakni memperoleh izin dari istri yang sudah ada dan izin pengadilan. Sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan, seorang suami yang berkeinginan untuk berpoligami harus mendapatkan izin dari istri yang sudah ada.

Selain itu, KHI Pasal 55 mengharuskan adanya persetujuan dari Pengadilan Agama, yang hanya dapat diberikan jika istri pertama menyetujui, suami mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi istri-istri dan anak-anaknya, serta ada alasan kuat yang dibenarkan syariat.

Namun, dalam banyak kasus, para suami mengabaikan syarat ini, sehingga menyebabkan ketidakadilan bagi istri dan berpotensi menimbulkan masalah hukum. Banyak suami yang mencoba mengelak dari ketentuan ini dengan cara menyembunyikan pernikahan keduanya, atau memanipulasi informasi terkait status perkawinannya.

Inilah yang menjadi salah satu alasan utama dikeluarkannya SEMA No. 4 Tahun 2016 oleh Mahkamah Agung, bahwa perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang suami dengan perempuan lais, sedangkan suami tersebut tidak mendapatkan izin isteri untuk melangsungkan perkawinan lagi, maka pasal 279 KUHP dapat diterapkan.

Pada ayat (1) pasal 279 KUHP disebutkan : “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu”.

Dan pada ayat (2) KUHP disebutkan pula “Ancaman hukumannya lebih berat lagi, yaitu hukuman penjara selama 7 tahun jika suami yang menikah lagi itu menyembunyikan fakta bahwa dirinya masih terikat perkawinan dengan perempuan lain”.

Berdasarkan pasal di atas dipahami bahwa seseorang yang dalam status perkawinan yang sah melakukan pernikahan lagi tanpa melalui prosedur yang benar dapat dikenakan hukuman pidana.

Dalam konteks poligami, ini berarti bahwa seorang suami yang menikah lagi tanpa izin istri pertama dan tanpa persetujuan pengadilan, terlebih lagi sengaja menyembunyikan status pernikahannya yang sudah ada dengan istri kedua, ketiga, dan keempat dianggap melakukan tindak pidana, sehingga dikenakan pasal 279 KUHP. Pasal ini mengatur tentang tindak pidana memalsukan atau menyembunyikan status perkawinan yang sah, dengan ancaman hukuman penjara antara lima hingga tujuh tahun.

Dengan demikian SEMA No. 4 Tahun 2016 memperkuat penerapan Pasal 279 ini dengan menegaskan bahwa tindakan menyembunyikan status pernikahan adalah bentuk penipuan dan pelanggaran hukum yang serius. Hal ini menunjukkan adanya upaya yang lebih serius dari sistem peradilan Indonesia untuk menegakkan keadilan bagi perempuan.

Dalam konteks ini, SEMA No. 4 Tahun 2016 berfungsi untuk memperjelas posisi hukum mengenai poligami tanpa izin. SEMA ini dikeluarkan agar dapat dijadikan pedoman bagi hakim dalam memutus perkara pidana terkait poligami tanpa izin.

SEMA No. 4 Tahun 2016 berfungsi untuk memperjelas posisi hukum mengenai poligami tanpa izin dan memberikan landasan bagi penegak hukum untuk mengambil tindakan yang tegas terhadap pelanggaran ini. SEMA ini juga menegaskan komitmen Mahkamah Agung untuk melindungi hak-hak perempuan dan menjaga integritas institusi perkawinan di Indonesia.

Namun, meski regulasi ini telah ada, implementasinya sering kali menemui kendala. Ini mencerminkan bahwa meskipun SEMA No. 4 Tahun 2016 telah memberikan panduan yang jelas, penegakan hukum terhadap poligami tanpa izin masih menghadapi berbagai tantangan.

Salah satunya adalah kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang hukum poligami yang masih rendah. Banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa tindakan menikah lagi tanpa izin dapat dikenakan sanksi pidana.

Selain itu, ada juga tantangan dari sisi budaya dan agama. Dalam beberapa komunitas, poligami dianggap sebagai hal yang wajar dan bahkan didukung oleh norma-norma setempat, meski praktiknya tidak sesuai dengan hukum negara. Ini sering kali membuat penegakan hukum menjadi lebih sulit, karena adanya resistensi dari masyarakat terhadap intervensi hukum dalam masalah perkawinan yang dianggap sebagai urusan pribadi atau keluarga.

Oleh karena itu untuk meningkatkan penegakan hukum terhadap poligami tanpa izin, diperlukan beberapa langkah strategis yaitu:

1. Sosialisasi dan edukasi mengenai hukum poligami harus ditingkatkan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan aparat penegak hukum. Ini penting untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak istri dan konsekuensi hukum dari poligami tanpa izin.

2. Perlindungan dan dukungan bagi istri pertama yang menjadi korban poligami tanpa izin harus diperkuat. Ini bisa meliputi pemberian bantuan hukum, psikologis, dan sosial, agar mereka memiliki keberanian untuk melapor dan memperjuangkan hak-hak mereka.

3. Pengawasan dan penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan konsisten. Aparat penegak hukum harus diberikan pelatihan yang memadai untuk menangani kasus poligami tanpa izin dan diberikan wewenang untuk bertindak secara independen tanpa takut akan intervensi.

Dengan demikian kehadiran SEMA No. 4 Tahun 2016 merupakan langkah penting dalam penegakan hukum terhadap poligami tanpa izin di Indonesia. Dalam jangka panjang, ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih adil dan harmonis bagi semua pihak dalam perkawinan. Institusi perkawinan wajib dijaga kehormatan dan martabatnya dengan serius, tegas dan konsisten. (***)

Leave a Reply