Tanah Datar, bakaba.net – Dalam festival Tapi Selo Baralek Gadang Sabtu (27/07) ada yang menarik untuk ditulis yaitu makan diatas rumah gadang.
Pada setiap rumah gadang di Minangkabau terlalu terdapat dua tangga untuk masuk pada bagian depan yang nantinya akan bertemu pada beranda atau ruang tamu, tangga pada sisi kanan dimanfaatkan perempuan untuk naik ke atas rumah gadang sementara sisi kiri untuk laki-laki.
Begitu juga pengaturan tempat duduk saat makan diatas rumah gadang juga sudah ditentukan, perempuan pada sisi kanan dan laki-laki pada sebelah kanan.
Saya melihat, adat di Minangkabau sangat mengatur adab dan etika, sehingga antara perempuan dan laki-laki menempati tempat terpisah, sehingga tidak bersentuhan yang nantunya dapat mendatangkan fitna.
Hal itu bisa kita lihat dari mulai masuk ke atas rumah gadang dan pengaturan tempat duduk yang tidak pernah berubah dari tempo dulu hingga saat ini dan itu berlaku pada semua rumah gadang. Bila berkunjung ke museum terbuka Istano Basa Pagaruyung, makan sebelah kanan anjuang bundokanduang dan sebelah kiri anjuang raja.
Berhadapan dengan beranda terdapat pelaminan tempat bersandingnya anak daro dan marapulai (penganten) yang didampingi Bupati Eka Putra.
Seluruh dinding di dalam rumah gadang itu dihiasi dengan tabir (kain bersulam benang emas) sehingga benar-benar menghadirkan kemegahan barelek (pesta) Minangkabau, saya benar-benar terkesima melihat tabir benang emas yang melampisi dinding.
Bagaimana tidak setiap corak dalam hiasan itu memiliki makna yang tentunya memuat pesan-pesan moral dan menjadi acuan dalam kehidupan ditenggah-tenggah masyarakat.
Berbagai macam menu juga tersusun pada bagian tenggah baik di sebelah kanan maupun kiri rumah gadang. menu-menu yang begitu mengugah selera tetapi belum ada yang berani menyentuh apalagi memakannya.
Sebelum mulai mencicipi makanan yang sudah disediakan tuan rumah akan didahului dengan pasambahan makan.
Pasambahan Makan adalah salah satu bentuk karya sastra tradisional di Minangkabau dan termasuk kedalam kelompok sastra lisan karena penyebarannya dari mulut kemulut.
Saya kira sastra lisan adalah bassic dari komunikasi antara pencipta dan penikmat. Dan dari proses kekreatifan yang berpedoman kepada moral serta nilai norma-norma kehidupan maka lahirlah sebuah sastra yang berbentuk sebuah karya seperti halnya Pasambahan Makan ini.
Pasambahan makan adalah sebuah dialog berbahasa Minang yang dilakukan oleh dua orang pilihan pada sebuah acara tertentu dimana setiap katanya memiliki sajak yang khas dan tentunya sinkron dari kata ke kata.
Dialog-dialog dalam Pasambahan Makan bukanlah dialog kosong tanpa arah tujuan melainkan dalam dialog ini terdapat suatu maksud dan tujuan tertentu seperti mempersilahkan para pihak tamu untuk menikmati makanan atau minuman yang telah disajikan, memohon izin kepada tuan rumah untuk kembali kerumah masing-masing setelah selesai jamuan makan.
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Amril Amir dkk, Pasambahan berfungsi sebagai pengukahan “adat lamo pusako usang” (adat yang telah mentradisi) karena itu pasambahan sangat kental dengan petatah-petitih, mamangan, pituah, dan pameo yang merupakan bahasa hukum, undang-undang ajaran, dan etika.
Bupati Eka Putra mengatakan salah satu tujuan satu nagari satu ivent selain untuk mengali kembali nilai-nilai tradisi baik itu seni dan budaya yang pernah ada di tenggah-tenggah masyarakat, salah satunya pasambahan makan.
Pasambahan makan, saat ini sudah mulai jarang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, padahal itu merupakan tradisi komunikasi antara tuan rumah dan tamu sebelum menyantap hidangan yang sudah disediakan.
Hal ini menandakan bahwa orang Minangkabau memiliki budaya yang tinggi dan tercemin pada setiap tatanan kehidupan bermasyarakat.
Agar tradisi itu tidak hilang tergilas jaman, maka Pemkab Tanah Datar mempunyai perhatian dalam pengembangan kebudayaan bahkan menjadi salah satu Progul daerah itu yang dituangkan dalam satu nagari satu ivent. (***)