Nilai-Nilai Inklusif Masyarakat Minangkabau

Nilai-Nilai Inklusif Masyarakat Minangkabau

- in Headline, OPINI
0

Oleh:  DR. Gazali, M.Ag
Direktur Pascasarjana IAIN Bukittinggi

Belakangan ini kita, kami atau masyarakat minangkabau khususnya didera oleh beberapa isu yang terkait dengan sikap sosial, politik, budaya dan keagamaan. Penilaian orang luar (outsider) bahkan sampai lembaga resmi menyudutkan suku yang eksklusif ini dalam menetapkan garis keturunan melalui jalur “ibu”.

Sebagai orang minangkabau, kebanggaan saya menjadi lebih tinggi dan bahkan meningkat.

Ternyata warisan nenek moyang kita masih melekat di antara orang-orang hebat sehingga menjadi perhatian orang luar. Entahlah, apakah itu baik atau tidak, minimal sudah kembali terkenal. Batang nan tarandam ternyata belum lapuk dan bahkan sudah lama bangkit dari lunau.

Kita orang-orang minang secara biologis sudah diajarkan dan dididik dalam tatanan kehidupan yang sangat selaras antara kehidupan adat dan agama, hal ini tercemin dalam beberapa praktek kehidupan yang kita jalani.

Pertama, kuliner: halal dan tayyiban, makanan yang kita makan adalah makanan yang halal dan baik. Halal, tidak satupun jenis makanan pun di sumatera barat yang bahan makanannya berasal dari bahan yang dilarang oleh Allah swt. Begitu juga dengan cara pebngolahannya dilakukan secara higenis dan dalam kondisi baik.

Kedua, budaya Merantau: kedewasaan orang Minangkabau akan teruji dengan tradisi merantau, walaupun hanya di samping dapur. Seorang anak laki-laki minangkabau disarankan untuk merantau apabila tenaganya belum dibutuhkan di kampung halaman.

Dengan merantau yang bersangkutan dapat mempelajari dunia luar dan beradaptasi sesuai dengan kondisi yang dihadapinya, : dima langik dijunjuang, di situ bumi dipijak”. Dengan merantau seorang pemuda minangkabau akan merasakan perjuangan dalam kehidupan, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya serta bahasa.

Keterbatasan sumber-sumber ekonomi di kampunghalaman membawa nasib untk berjuang di rantau, kehidupan sosial yang dipelajari selama ini di kampunghalamn menjadi modal dalam berinteraksi di daerah baru.

Budaya egaliter yang tercermin di dalam masyrakat minangkabu menjadi ujian baru di tengah komunitas yang lebih hetrogen. Tutur bahasa yang terikat dengan falsafah :kato nan ampek” akan membuat para perantau dapar menempatkan diri di tengah masyarakat yang berasal dari berbngai macam bahasa, langgam serta intonasi yang berbeda-beda.

Ketiga, sisteim matrilineal dalam kekerabatan. Ada dua nilai filosofis dalam sistem kekerabatn ini. Pertama menjamin kehidupan dan kelangsungan generasi minang kaum apabila terbutus hubungan perkawinan. Kedua, menjaga marwah kaum laki-laki di tengah masyrakat dalam menjaga suku dan keturunannya. Ketiga, dalam masyarakat minangkabau dilarang perkawinan antar suku.

Setiap rumah akan dihuni oleh suku dan keturunan yang berbeda-beda. Maka setiap orang tua; mamak, dan bapak akan menghadapi dan berinteraksi dengan berbgai klatarbelakang adat, kebiasan serta tabiat dari masing-masing suku yang naik ke atas rumahnya.

Tentu hal ini akan memberikan pelajaran yang berhararga bagi anak, kemenakan, ipar serta tuan rumah dalam menghadapi perbedaan, keragaman pendapat masing-masing komunitas yang ada. Inilah yang menjadi modal dasar bagi orang minangkabau dapat hidup, bertoleransi dan beradaptasi di perantauan. Karena sejak dari dalam tulang sulbi mereka, kita sudah diajari untuk berbeda. (***)

Leave a Reply