Oleh: silfia Hanani
Semula diprediksi di tahun 2020 ini masyarakat dunia akan menikmati kesenangan dan kenikmatan, karena segala sesuatu bisa dipencet di ujung jari, waktu bisa dipersingkat, jangkauan sesuatu bisa seluas mungkin, teknologi telah masuk kedalam segala ruang bahkan ruang pikiran dan tubuh manusia.
Tetapi prerdiksi itu dirampas oleh wabah corona yang menjalar dengan begitu cepat, semua negara perang degan virus ini, termasuk negara kita Indonesia.
Berbagai kebijakan-kebijakan dilakukan untuk memutus dan memerangi wabah tersebut, mulai dari lockdown dalam konteks negara seperti yang dilakukan di India, sampai pada social distancing (mengatur jarak sosial), physical distancing ( mengatur jarak badan) sampai pada pembatasan sosial berskala besar.
Intinya adalah kita harus membuat pagar betis supaya virus itu tidak menjalar dan kita putus rantai penularannya.
Di tengah-tengah dunia merancang global tanpa batas, kini oleh virus corona dipaksa untuk memagar dan mengurung atau mengkarantina manusia dan wilayah.
Jika diibaratkan wilayah terirorial itu sebuah rumah, maka kini ia sedang dituntut utuk mengunci seluruh pintunya dengan rapat, kalau perlu semua pagarnya dijaga oleh bodyguard yang dilengkapi dengan senjata canggih, sehingga isi rumah itu tidak berinteraksi dengan bebas di alam sosial realita, inilah salah cara memutus rantai virus itu.
Sekarag pemerintah diberbagai negara sibuk dengan mengunci pergerakan masyarakat negaranya.
Termasuk juga di Indonesia, berbagai kebijakan-kebijakan dilakukan, bahkan sekarang Sumatera Barat telah diluluskan untuk melaksanakan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Artinya daerah ini telah memperkuat pengamannya, supaya dapat memutus rantai wabah pandemi virus tersebut.
Pagar kekuatan yang dibuat oleh pemerintah itu semestinya harus disahuti oleh kesadaran lokalitas kita urang awak yang hidup bernagari.
Sudah saatnya masyarakat nagari mengaktualisasikan prinsip kehidupan bernagari dengan kearifan-kearifan yang dibangun dalam nagari.
Salah satu prinsip itu adalah mamaga nagari melalui berbagai kekuatan, seperti melalui kekuatan ekonomi, kekuatan politik, kekuatan adat, kekuatan agama dan seterusnya.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, pagarlah nagari itu dengan semangat bernagari. Setidaknya dalam menyahuti kebijakan pemerintah daerah ini, masyarakat nagari harus mempunyai alur kebijakan yang seirama elok nagari dek basamo.
Nagari itu punya ninik mamak, cadiak pandai, bundo kanduang, alim ulama sebagai penuntun masyarakat dalam nagari, karena masing-masing memiliki fungsi dan wibawa tersendiri.
Lidah mereka tajam, air liurnya asin maka sudah saatnya kelompok suluah bendang itu memainkan peran komunikasi mamak kamanakan yaitu komunikasi yang didengar dan diinapkan dalam hati oleh masyarakatnya.
Komunikasi yang bisa membuat jembatan batin, menyadarkan dan mau untuk mengikuti peraturan. Mengapa masyarakat kita sekarang tangka?karena kita kehilangan komunikasi yang menyadarkan itu.
Komunikasi kita sudah centang perenang sehingga setiap yang dikmonukasikan tidak berpengaruh dan berefek, karena ruang sentuh batin itu telah berjauhan.
Pada hal, elok nagari itu salah satunya adalah karena kemampuan para suluah bendang membangun komunikasi.
Mereka tidak punya senjata yang ampuh untuk melindungi masyarakat nagarinya, tetapi hanya mempunyai bahasa atau komunikasi yang elok dan baik, sehingga menggugah orang mengikuti gagasannya.
Kini sebagai masyarakat nagari, bertanggungjawab semuanya untuk memagar nagarinya supaya tidak tejangkit oleh wabah ini, diantara sikap yang harus diperbuat adalah:
Jan mada
Sebagai masyarakat nagari, jangan menjadi manusia yang degil, patuhilah peraturan-peraturan dibuat oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini.
Jangan anggap remeh dan bersikap acuh tak acuh. Jangan menjadi urang nagari nan mada.
Tetapi jadilah masyarakat nagari yang patuh dan menyadari kepentingan bersama.
Ingat, jika sudah bulat kata oleh mufakat dan bulek aie dek pembuluh maka sudah seharusnya bersikap ka bukik samo mandaki, kalurah samo manurun. Jangan tangka dan mada.
Pagalah nagari supaya tidak dikejar oleh wabah itu dengan sikap tidak mada itu, tetapi peraturan yang sudah disepakati.
Jika mada, berarti banteng pertahanan nagari akan jebol oleh kemadaan sikap tadi, wabah itu akan membuka peluang berkembang. Jangan hancurkan nagari oleh sikap mada itu.
Jan ongeh
Masyarakat nagari banyak guru, banyak surau, banyak titah kaji. Tentu sudah banyak pula faham di dadanya, ada faham semuanya adalah takdir Tuhan, hidup dan mati karena Tuhan, benar!
Tapi ingat takdir itu ada yang bisa dielakan dan ada yang tidak bisa dielakan.
Wabah ini bisa kita elakan kita atasi maka untuk itu, mari kita atasi, jangan menyerah dengan cara seperti itu.
Kalau tetap mendegil dengan mangatakan manga lo angok nan ka ditakar corona berati menaruh keseombongan, sehingga ketika di buat himbauan oleh berbagai pihak tak di dengarnya, malahan ditentangnya.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya, sudah melarang beberapa ketentuan atas keberadaan suatu wilayah untuk tidak melakukan aktivitas bejema’ah di masjid, dianggapnya sebagai menentang pelarangan orang berbuat ibadah.
Tentu dalam kondisi sekarang kita tidak bisa menafsirkan seperti itu, kita harus faham bahwa tujunya adalah untuk kemaslahatan bersama.
Jangan bersikap ongeh merasa bisa melawan virus itu dengan cara menentang sunatullah.
Jan Pulang Kampuang dulu
Mengingat penularan virus tersebut melalui “kedekatan fisik” maka hubungan masyarakat rantau dan nagari, terpaksa dalam virtual saja dulu dalam dunia maya.
Apa boleh buat demi menjaga kampung halaman dan kita semua.
Kita berjarak tetapi didekatkan oleh dunia maya, ini cara orang rantau saat ini berperan aktif mamaga nagarinya dari corona, dengan besar hati tidak pulang dulu, menahan rindu akan kampung halamannya.
Percayalah, masyarakat yang tidak ambil pusing dan tidak taat aturan, akan memperpanjang dan memperparah penyebaran wabah ini.
Sebelum terlambat sebaiknya kita taati dan patuhi aturan yang ada, kita pagar diri kiti, keluarga kita, nagari kita, daerah kita, bangsa kita dari ancaman ini.
Jangan sampai kita seperti negara-negara yang telah begitu parah ditimpanya, bayangkan mayat-mayat pun tidak lagi terurus, harus antri untuk dimakamkan dan seterusnya.
Perekonomian hancur berantakan, maka untuk itu kita harus melawannya dengan sikap mentaati peraturan pencegahannya. Jan mada. (***)