TANAH DATAR, bakaba.net — Terkait adanya calon bupati perempuan di Tanah Datar, Silvia Devi peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat meyebutkan peran perempuan dalam berpolitik atau berdemokrasi di Minangkabau bukalah hal baru.
“Keterlibatan Perempuan Minangkabau dalam politik dapat kita ketahui dari berbagai cerita yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, salah satunya kaba Cindua Mato,” kata Silvia Devi, S. Sos. M. Si.
Begitu juga saat majunya Betti Shadiq Pasadigoe SE.Akt, MM sebagai calon bupati di Tanah Datar dan Endarmy SE. MM calon bupati Padang Pariaman harus didukung kaum perempuan.
“Karena kalau bukan perempuan sendiri yang mendukung lalu siapa lagi,” kata Silvia Devi dengan nada bertanya.
Calon bupati Betti Shadiq Pasadigoe SE.Akt, MM dapat menjadi role model yang dikagumi, dihargai, diteladani, dan tentunya memberi motivasi maupun semangat bagi banyak perempuan.
Realitas ini mampu menjadi faktor pendukung yang membuka peluang bagi perempuan lain untuk mengembangkan potensi kepemimpinannya.
“Menjadi pemimpin adalah sebuah tanggungjawab yang mempunyai implikasi tidak ringan,” katanya.
Seorang pemimpin sebut Silvia Devi dapat mempengaruhi iklim organisasi baik dari segi kualitas kehidupan kerja, kepuasan kerja hingga memainkan peran kritis dalam membantu organisasi, lembaga, dalam mencapai tujuannya.
Majunya Betti Shadiq Pasadigoe sebagai calon bupati Tanah Datar akan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan sehingga dapat memperluas kesempatan bagi perempuan lain dalam mengembangkan potensinya terutama dalam bidang politik.
“Pemimpin perempuan memang bukan hal baru di Minangkabau, tetapi selama ini tenggelam, munculnya sosok calon bupati perempuan di Tanah Datar memberikan peluang dan spirit baru buat Minangkabau,” katanya.
Berbicara menengenai keterlibatan perempuan dalam demokrasi terwadahi sejak adanya kewajiban kuota 30 persen caleg perempuan.
UU No.2 Tahun 2008 mengamanahkan pada parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat.
Namun sayangnya sampai saat ini keterwakilan itu belum maksimal. Inilah yang menjadi permasalahan terbesar yang dihadapi perempuan dalam politik.
Sehingga kepentingan-kepentingan perempuan dalam kehidupan tidak terwakili. Keberadaan mereka yang dibawah 30 % tidak memudahkan mereka dalam memperjuangkan kepentingan ditengah dominasi laki-laki.
Sivia Devi melanjutkan, jika dilihat dari sejarah di Minangkabau, begitu besar peran perempuan pada masa lalu, tentunya ini dapat dipahami bahwa perannya dipolitik tidak melanggar adat.
Justru sebaliknya malah memperkuat posisinya ditengah pentingnya peran seorang perempuan dalam usaha menyelamatkan pemerintahan daerah.
Di Minangkabau kata peneliti BPNB ini, Sistem egaliter yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau menempatkan kedudukan antara laki-laki sama dimata adat dan agama. Begitu juga dalam hal berpolitik.
Selanjutnya Silvia Devi mengutip pendapat Ranny Emilia (2014) seorang pakar politik Universitas Andalas, yang mengungkapkan bahwa peranan politik perempuan Minangkabau tidak berlaku hukum jender melainkan dilihat dari kemampuan dan pengalaman seseorang menyediakan perlindungan serta pengawasan dari kerusakan kultural dan material kelompok yang diwakilinya.
“Hal yang sama juga pernah diungkapkan Raudha Thaib tahun 2014, yang menyatakan kedudukan perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang sama,” kata Silvia Devi.
Posisi kaum perempuan menurut adat Minangkabau adalah sebagai tokoh sentral.
Oleh karena, ia harus menjalankan peran dan fungsinya sekaligus. Peran tersebut berlaku baik di sektor domestik maupun publik.
Seperti kata Petatah petitih Minangkabau yang menggambarkan figur ideal perempuan yakni bundo kanduang sebagai limpapeh rumah nan gadang, umbun puruik pagangan kunci, pusek jalo kumpulan tali, sumarak dalam nagari dan sebagai nan gadang basa batuah, ka undang undang ka Madinah, ka payuang panji ka sarugo. Figur tersebut tentu memiliki berbagai tugas dan kewajiban yang harus ditaati antara lain manuruik alua nan luruih (mengikuti aturan), manampuah jalan nan pasa (mengikuti cara yang benar), mamaliharo harato pusako (memelihara harta pusaka), mamaliharo anak kamanakan (memelihara anak kemenakan).
Bahkan kata Silvia Devi, Idrus Hakimy (1978) menyimpulkan bahwa tak salah kiranya bundo kanduang yakni perempuan minangkabau dipandang mulia dan memegang fungsi yang penting dalam masyarakat.
Seharusnya kita sebagai perempuan Minangkabau memiliki kesempatan berperan lebih luas, dikarenakan dalam pepatah dikatakan merupakan figur ideal.
Namun, tentu saja semua itu tidak mudah. Banyak usaha keras yang harus dilakukan bagi semua perempuan Minangkabau agar benar-benar bisa wakil kaumnya di tengah demokrasi.
Salah satu keunggulan perempuan Minangkabau yang dikenal memiliki sifat bijaksana, seperti ungkapan bak maelo rambuik dalam tapuang, rambuik nda putuih tapuang nda taserak. Artinya bahwa dalam mengambil sebuah keputusan tidak dilakukan secara grasa-grusu melainkan dengan hati-hati dan tidak melukai siapapun.