Oleh Andiko Sutan Mancayo
Bagian kelima
Hak berburu. Senjata.
Senjata-senjata Mamak sekarang adalah tombak pendek dan panjang dan keris, di masa lalu juga pedang kasar, soempitan (demak ber-upas) yang dengannya seseorang meniup panah beracun. Pedang Kasar ini sekarang sudah tidak digunakan lagi.
Selain senjata-senjata ini, perburuan dilakukan dengan perangkap, belantik.
Ketika seseorang telah memilih tempat untuk menempatkan Belantik, maka seseorang harus memberi tahu batin dan masyarakat kampung.
Tanah perburuan yang dicadangkan ditandai dengan tanda berupa silang atau dua cabang yang dilucuti dari kulit kayu (kajoe berkoepas disingkirkan), ditempatkan di tepi sungai di sepanjang sungai yang mengalir melalui bidang tanah dan yang berdekatan dengan lokasi hutan.
Cap-cap ini diakui dan dihormati; tidak ada orang lain yang akan berburu di tempat perburuan yang dicadangkan atau mengambil rampasan berburu yang tidak sesuai.
Karena belantiks juga berbahaya bagi manusia, tanda-tanda ini juga berfungsi sebagai tanda bahaya.
Selain menggunakan belantik, hewan ditangkap dengan badjau (jerat idjoek) dan randjau (rant joes – runcing bambu).
Tombak panjang disebut lembing; tombak pendek dengan lidah tiong (tombak yang terbuat dari besi) disebut toambak, di mana Mamak sangat ahli: bahkan seekor nangwi yang melarikan diri dihantam pada jarak 50 meter.
Selain ini dan keris, ia juga tahu sekin (sikin) dan tundang (parang bermata dua) sebagai senjata.
Perlu dicatat di sini bahwa, seperti halnya Islam yang menggumamkan ‘bismillah’ ketika menyembelih hewan, Mamak juga mengucapkan bentuk, yaitu:
papan diatas papan bawah;
papan dikandoen rasoel oellah,
duduk i) kata pisau, sau *) kata darah,h
alal dimakan.
{(l) “Duduk” adalah bunyi bilah pisau saat melewati, daging dicapai; “Sau” berarti suara darah yang keluar.}
Menurut saya, kebiasaan ini pada mulanya bukan ‘Mamaksch’, terutama ‘rasul oellah’ yang menunjukkan bahwa itu pasti diambil dari orang-orang Islam. ***