Oleh Kharisma Pratiwi
Orang memanggilnya Inyiak Pidih, rutinitasnya adalah berjualan kacang goreng. Jalan demi jalan ia telusuri dengan sepeda yang ikut tua bersamanya. Jauh jalan tak menjadi hitungan. Letih dibadan telah mengebal.
Inyiak Pidih (72) berjualan kacang goreng 30 tahun lamanya. Isteri tercinta sudah meninggal 5 tahun yang lalu disebabkan kanker panyudara.
Inyiak Pidih hidup seorang diri di rumah kayu. Banyak orang yang mengenalnya menganggap ia awet tua. “Inyiak Pidih dari aku kecil hingga sekarang tak pernah berubah tuanya, masih persis seperti sekarang” Kata Anton.
Ketika aku menghampirinya saat memasak kacang. Tak satupun keluhan terlihat dalam setiap ucapan Inyiak Pidih. Sesekali ia tersenyum tulus sabil bercerita dan ia sodongkan kacang goreng jualannya kepadaku dengan gratis.
Tiap kali bertemu, tak pernah pula ia lupa selipkan cerita tentang anaknya yang sedang menempuh sarjana. “Anakku dua, yang satu sudah menikah dan satu lagi masih kuliah di Padang” Ucap Inyiak Pidih dengan sangat bangga.
Sontak ucapan itu juga memberikan raut wajah yang sangat dalam. Merindukan sang anak yang jauh di kampung orang, tentunya tak dapat tersembunyikan.
Lanjutnya “anak-anak juga ada datang menjenguk, tapi memang tak sering. Anak saya juga disibukkan oleh kerjanya. Apalagi yang sudah menikah, tentu ia juga harus mengurus keluarganya”.
“Anak-anak pulang ngak sering, kan ibu mereka sudah tak ada” Sambung Inyiak Pidih dengan mata tertunduk. Kalimat ini aku artikan sebagai bentuk pesan tersirat Inyiak Pidih bahwa ia sedang berharap lebih.
Rindu sang anak seperti lama tak jumpa cukup tergambar dalam setiap lisan dan wajahnya. Apa kita harus menunggu dulu orang tua kita untuk mengucapkan rindu?. Semakin menua umur orang tua kita, mereka akan semakin membutuhkan kita sebagai anaknya.
Untuk itu ingatlah!. Luangkan banyak hari bersama orang tuamu. Karena semua akan menjadi moment berharga yang tak pernah terulang dengan orang lain manapun.
Tak lama setelah bercerita tentang sang anak. Lalu Inyiak Pidih lanjutkan cerita mengenai kacang goreng yang ia buat.
“Kacang ini dari pitalah dikirim melalui mobil. Kemudian butuh waktu 3 jam untuk proses masak. Kacang goreng ini dijual 20 ribu dalam 1 bungkus dan hasil penjualannya alhandulillah cukuplah untuk memenuhi kebutuhan hidup” Sambung Inyiak Pidih.
Dia tak mau jelaskan nominal hasil yang diperoleh. Dengan ucapakan itu ia gambarkan sebagai bentuk rasa syukurnya.
Inyiak Pidih dengan semangat mengaduk kacang yang sedang ia goreng di kuali besar, yang biasa orang minang gunakan untuk memasak randang.
Untuk menjajakan kacang gorengnya Inyiak Pidih mengunakan sepeda tuanya berkeliling ke arah pasar lubuk alung dan berkeliling ke kampung-kampung kecil di sekitar wilayah kecamatan enam lingkung. menyusuri jalan-jalan dan berharap ada yang membeli kacang goreng buatannya.
Dia berusaha mengayuh sepedanya, baginya hidup itu seperti ban sepeda terkadang berada diatas, tidak jarang juga berada pada posisi terendah tetapi untuk menjaga keseimbangan dirinya tetap mengayuh pedal sepedanya.
Beginilah hari-hari Inyiak Pidih. Mengahabiskan waktu senjanya dengan rutinitas berjualan kacang goreng. Tentu bersama sepeda tua yang setia menelusuri setiap jalan yang ditempuhnya. (***)