Falsafah Alam Takambang Jadikan Guru Ada Di Dapua Museum Istano Basa Pagaruyung

Falsafah Alam Takambang Jadikan Guru Ada Di Dapua Museum Istano Basa Pagaruyung

- in BUDAYA, Headline, OPINI
0

Oleh: Destia Sastra

Masyarakat Minangkabau sejak berabad-abad yang lalu menjadikan alam sebagai tempat untuk menuntut ilmu. Alam menyediakan segalanya untuk kebutuhan manusia.

Bahkan untuk menggambarkan hal itu, masyarakat Minangkabau yang mendahului zamannya yang terkandung dalam fasafah “Alam Takambang Jadikan Guru”.

Bila kontruksi museum Istano Basa Pagaruyung, setiap detailnya pembangunan mengacu pada kearifan lokal setempat, mulai dari, pemilihan tempat pendirian, pengunaan bahan dan kontruksi bangunan.

Bangunan utama museum istano Basa Pagaruyung terbagi dua. Bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan dimanfaatkan untuk menyimpan berbagai artefak koleksi museum.

Artefak itu berasal dari berbagai tinggalan budaya benda dan non benda mulai dari awal abad sampai benda-benda tradisional yang memiliki kaitan erat dengan kerajaan Pagaruyung.

Bila bangunan depan dimanfaatkan untuk koleksi benda-benda serta biliak untuk para putri raja yang sudah menikah, maka bagian belakang merupakan dapua.

Untuk menuju dapua dengan selasar yang tepat berada di belakang Singgasana Raja. Bangunan belakang ini juga dibagi dua, bagian kiri museum merupakan dapua, sementara bagian kanan ruang untuk istana dayang-dayang, sedangkan lorong yang berada ditenggah-tenggah untuk menuju pincuran tujuah, tempat para putri raja mandi.

Dapua memiliki dua pintu masuk berukuran besar dan empat jendela yang juga berukuran besar, sehingga sirkulasi udara bebas keluar masuk ke museum dapua Basa Pagaruyung. Tidak hanya bagian dalam museum atau ruang utama yang ditata penuh estetika, tetapi bagian dapur ini juga.

Pada bagian tenggah dapua terdapat peti besar yang diatasnya ditebar pasir dalam jumlah banyak selanjutnya ada batu-batu yang disusun untuk tunggu.

Untuk satu tunggu membutuhkan tiga buah batu yang sama besar agar masakan yang dimasak tidak tumpah saat dayang-dayang memasaknya.

Ini mengambarkan desentralisasi pemerintahan di Minangkabau yang disebut ‘Tunggu Nan Tigo Sajarangan, Tali Nan Tigo Sapilin”.

Persis di atas tunggu, orang Minangkabau disebut dengan susunan berbagai alat masak yang terbuat dari gerabah.

Di dalam dapua ini, dapat dilihat perbagai alat masak yang menggunakan santan lokal, seperti bambu tempat mengambil air bersih ke Pancuran, ada juga kukuran yang digunakan untuk memarut kelapa, peremas batu untuk mengiling cabe.

Di sini juga terdapat luka (alat untuk menangkap belut) berbagai ukuran, jalo (alat untuk menangkap ikan), katidiang (alat untuk membawa padi dari rangkiang, selanjurnya ditumpuk secara tradisional), dandang untuk memasak nasi.

Untuk alat makan juga menggunakan kearifan lokal, seperti tempurung sebagai wadah minum, sanduak (sendok terbuat dari tempurung dan bambu) dengan berbagai ukuran.

Melihat peralatan masak yang berada di dapur museum istana Basa Pagaruyung hal itu mengandung falsafah “Alam Takambang Jadikan Guru” fasafah itu mengandung Filosofis pendidikan.

Alam Takambang jadi guru mengandung filosofis pendidikan. Alam diartikan sesuatu yang berada disekitar kita, takambang memiliki makna tempat terjadinya peristiea dan dinamika kehidupan.

Sementara guru diartikan alam dapat dijadikan sebagai sumber belajar, tempat terjadinya proses pendidikan yang maha luas, banyak hikmah yang dapat diambil pelajaran sebagai pedoman hidup manusia dalam mengalami kehidupannya.

Belajar dengan Alam Takambang akan selalu serasi dan selaras dengan perkembangan, karena belajar dengan Alam Takambang tidak akan ada dijumpai apa yang disebut dengan keterikatan, keterbelakangan, keterbatasan, kadaluarsa dan lain sebagainya. Alam Takambang dijadikan guru tidak jadi soal jauh atau dekat karena dengan bantuan teknologi banyak hal menjadi sangat mudah.

Falsafah alam Minangkabau meletakkan manusia sebagai salah satu unsur yang statusnya sama dengan unsur lainnya, seperti tanah, rumah suku, dan nagari. Persamaan status itu mereka lihat dari keperluan budi daya manusia itu sendiri. Setiap manusia, secara bersama atau pun sendiri-sendiri memerlukan tanah, rumah, suku, dan nagari sebagaimana mereka memerlukan orang lain bagi kepentingan lahir dan batinnya (Navis, 1986:60).

Pendapat di atas membuktikan eksistensi manusia tergantung dengan keberadaan dan kemampuannya mempertahankan diri di alam.

Selain itu pemanfaatan alam sebagai sumber pemenuhan kebutuhan manusia mutlak harus dijaga dan dipelihara karena menyangkut keberlangsungan hidup mereka sekarang atau pun untuk anak keturunan mereka di kemudian hari.

Orang Minangkabau berpikir dan menarik pembelajaran dari ketentuan alam. Sehingga tidak jarang pepatah dan petitih yang menjadi panduan adat mereka bersumber dari peristiwa yang terjadi di alam.

Ketentuan dari alam yang kita maksudkan umpamanya daratan, lautan, gunung, bukit, lurah, batu, air, api, besi, tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang, langit, bumi, bintang, matahari, bulan, warna-warna, bunyi dan sebagainya yang mempunyai ketentuan-ketentuannya sendiri-sendiri. Seumpama ketentuan lautan berombak, gunung berkabut, lurah berair, air menyuburkan, api membakar, batu dan besi keras, kelapa bermata, buluh berbuku, pokok bertunas, ayam berkokok, murai berkicau, elang berkulit, merah, putih, hitam, dan sebagainya (Hakimy, 2001:3).

Pendidikan yang dimaksud tentulah pendidikan yang bersifat menyeluruh, padu yang tak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri. Itulah, pendidikan yang tak hanya terkait dengan ilmu sebagai sekedar pengetahuan, tetapi “ilmu yang hidup” berjalin-berkelindan menjadi amal perbuatan dalam samudera kehidupan. Pendidikan yang hasil akhirnya dimungkinkan hanya ijazah atau pun gelar, atau yang sejenis dengan itu (Abidin, 2004:9). (***)

 

 

Leave a Reply