Oleh : Drs. Nurmatias)*
Pendahuluan
Meretas eksistensi sejarah Minangkabau perspektif sejarah dalam khazanah historiografi Indonesia umumnya dan Minangkabau khususnya merupakan sebuah keharusan. Fondasi ini didasarkan pada intinya yakni “masih berdebatnya kita” perihal sejarah Minangkabau tertuang dalam literatur sejarah.
Perihal lainnya dalam sejarah Minangkabau, telah banyak dikaji oleh peneliti baik peneliti Indonesia maupun luar negeri. Tak salah Benda-Beckmann (2000 : xxvi) pernah menuliskan bahwa Minangkabau sudah banyak yang menyigi dari berbagai aspek penyigihannya.Namun persoalan penyigihannya itu sendiri tidaklah berakhir dan terus menjadi bahan perdebatan yang tak pernah berakhir.
Kita tidak dapat menafikan bahwa menyigi dan mengkaji eksistensi sejarah Minangkabau itu sendiri tidak terlepas dari perihal Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan Pagaruyung itu sendiri merupakan salah satu kerajaan yang pernah ada dalam khazanah sejarah Minangkabau.
Kerajaan yang diperkirakan berdiri pada abad ke-14 di daerah darek Minangkabau, tepatnya berpusat di Pagaruyung. Kerajaan tersebut mencapai puncak kejayaannya sekitar abad ke-15 Masehi, dibawah pemerintahan Adityawarman.[1]
(Amran, 1981 : 37 ; Kiram, dan kawan-kawan, 2003 : 11, dan Imran, dkk, 2002 : 20). Sebagai sebuah kerajaan besar dizamannya, selain telah memiliki kerajaan-kerajaan kecil (vazal) yang bertindak sebagai “wakil raja” di daerahnya- diberi otonomi khusus untuk mengurus daerahnya juga telah menyebarkan keturunan keberbagai daerah dipelosok tanah air sampai ke manca negara. Itu pulalah dari keberadaan kerajaan tersebut meninggalakan jejak yang bernama peninggalan arkelogis.
Berfondasikan pada persoalan diatas, makalah ini memfokuskan pada persoalan sejarah Minangkabau dalam perspektif bukti-bukti arkeologis yang ditemukan sampai saat sekarang ini.
Sejarah Asal-Usul Adat Minangkabau[2]
Bukti-bukti adanya kebudayaan prasejarah di Minangkabau, berdasarkan informasi mengenai ada objek atau situs-situs peninggalan prasejarah dalam konteks kepurbakalaan Minangkabau pertama ditulis oleh Tijdschrift Bataviaasch Genootschap IV dengan artikel tanpa nama yang berjudul Oudheden ter Westkust van Sumatra di dalam terbitan 1855 tentang penemuan batur punden berundak dikelilingi batu-batu kuburan di daerah Sintuak Pariaman
Di samping itu seorang ahli arkeologi Belanda yang bersama Schnitger menulis dalam bukunya Forggoten Kingdom in Sumatra. Dia mengemukakan bahwa di daerah Limapuluah Koto banyak ditemukan peninggalan megalitik yang berupa menhir, Dolmen, batu dakon dan beberapa temuan lainnya. Peninggalan masa prasejarah di Limapuluah Koto banyak kita temukan seperti situs Bawah Parit, Situs Balai Talang, Situs Koto Ranoh, Situs Sungai Talang, Situs Balubuih, dan Situs Batu Taleompong. Situs-situs prasejarah banyak sekali ditemukan di Kabupaten Limapuluah Koto seharusnya Luhak nan Tuo ini terletak di Limapuluah Koto dan kenyataan yang ada sebutan luhak nan tuo ini di Tanah Datar. Fenomena ini yang menjadi perhatian dan focus dari tulisan ini. Melihat kondisi yang ada kepercayaan masyarakat Minangkabau yang sudah mengakar bahwa nenek moyang kita berasal dari kaki gunung Merapi tetapi kenyataan yang ada bukti yang ada tidak dapat menjelaskan cerita yang disampaikan melalui Tambo. Informasi yang disampaikan tambo setelah ditelusuri dan lakukan penelitian tidak dapat memberikan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Mudah-mudahan dimasa yang akan datang ditemukan metode dan pendekatan baru akan menguak tabir sejarah masa lalu Minangkabau. Masa Prasejarah di Minangkabau banyak sekali kita temukan termasuk ekskavasi yang dilakukan Pusat Arkeologi Nasional di Situs Bawah Parit Mahat mengungkapkan pertanggalan absulote atas kerangka tulang yang ditemukan di situs tersebut, setelah dilakukan analisa C16 memberikan informasi ke kita bahwa umur dari kerangka manusia tersebut 30.000 tahun lalu. Jadi kalau kita analogikan umur kerangka yang ada dengan terdamparnya anak Iskandar Zulkarnain ini tidak sama. Kerangka yang ada lebih dahulu ada dari pada Maharaja Diraja anak Iskandar Zulkarnain. Jadi kalau kita kritisi antara temuan arkeologi dengan informasi tambo tidak linear
Masa prasejarah di Minangkabau cukup lama terjadi sehingga paham dan sistem religi kelihatan dalam masa setelah kebudayaan Hindu-Budha dan Islam masuk. Pada awalnya agama masyarakat Minangkabau pada awalnya percaya pada kekuatan alam. Penganut kepercayaan ini berkeyakinan setiap benda mempunyai kekuatan terutama gunung, pohon besar dan kekuatan alam lainnya, Kepercayaan animisme dan dinamisme ini percaya kepada roh-roh orang hidup pasti mempunyai kekuatan dan untuk itu perlu diadakan upacara persembahan kurban baik manusia maupun hewan. Persembahan ini berfungsi sebagai alat untuk menenangkan kekuatan alam seperti gunung dan kekuatan alam lainnya.[3]
Memasuki masa sejarah dimulai dengan ditemukannya prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah Pariangan, Kuburajo, Saruaso, Pagaruyung di Kabupaten Tanah Datar, Kubu Sutan, Tanjung Medan, Koto Rao, Pancahan, Gangggo Hilia di Kabupaten Pasaman dan Padang Roco, Rambahan di Kabupaten Damasraya. Temuan prasasti ini menunjukan adanya proses pengaruh budaya baru yang datang ke Minangkabau. Dengan kedatangan pedagang-pedagang dan masyarakat India serta kontak budaya dengan masyarakat Jawa ke Minangkabau, muncul suatu kebudayaan baru yang mengenal tulisan dan huruf. Kebudayaan baru ini dikenal dengan kebudayaan Hindu-Budha yang berkembang hanya dikalangan raja saja sehingga pengaruhnya tidak begitu dominan pada masyarakat umumnya di Minangkabau.[4]
Merujuk tradisi lisan yang digambarkan dalam tambo tidak terbukti dengan temuan-temuan prasasti yang ada dengan presepsi masyarakat Minangkabau secara keseluruhan tidak sesuai dengan fakta dan data sejarah. Dalam Tambo menyebutkan nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Raja Iskandar Zulkarnain dari Macedonia. Dalam sejarah yang ada Raja Iskandar Zulkarnain hanya sampai ekspansi ke India, dan setelah itu tidak dijelaskan sejarahnya kemudian. Dalam tambo menyebutkan Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga orang anak dan mereka berlayar ke daratan Cina akibat banjir besar melanda bumi. Ketiga anak tersebut mempunyai watak yang berbeda dan kemudian bertengkar memperebutkan tahta kebesaran ayahnya. Ketidak cocokan ini mereka berpisah, yang dua tetap melanjutkan ke Cina dan Anatolia dan satu lagi yang dikenal Maharaja diraja mendarat di Gunung Merapi Kemudian air sudah susut Maharaja diraja dan pengikutnya turun dari Gunung Merapi dan membuka lahan di Padang Panjang Pariangan sekarang masuk Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar.
Dua orang keturunan Maharaja diraja, Datuk Katumanggungan dan saudara lain ibu, Datuk Parpatih nan Sabatang menyusun bentuk dan sistem pemerintahan adat Minangkabau. Menurut beberapa versi menyebutkan kedua datuk ini berselisih tentang kedatangan Adtyawarman pangeran Sumatera dan dididik di Jawa. Adityawarman kemudian menikah dengan adik Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Dua saudara ini betikai dalam menentukan status Adityawarman. Menurut Katumanggungan menganggap Adityawarman adalah raja Minangkabau dan Datuk perpatih nan Sabatang tidak demikian . Akibat perselisihan ini dikenal dengan kelarasan Koto Piliang yang berkiblat ke Datuk Katumanggungan dan kelarasan Bodi Chaniago yang berkiblat ke Datuk Perpatih nan Sabatang.[5]
Melihat kondisi sejarah berdasarkan kajian prasasti yang ada, ada tiga prasasti yang punya hubungan dengan peristiwa yang disampaikan tambo tetapi peristiwa tersebut yang ada kontradiktif. Dalam isi prasasti Pararruyung VI digoreskan pada batu andesit warna coklat kekuningan non artificial. Batu monolith tersebut berbentuk persegi panjang tak beraturan dengan tulisan berada sisi atasnya. Melihat kondisi tulisan tidak menurut pakem yang ada, dapat interprestasikan jenis tulisannya relatif kasar, kecil dan tidak rapi. Prasasti dengan huruf dan bahasa Jawa Kuna ini hanya terdiri dari 2 (dua) baris tulisan dan jika dibandingkan dengan medianya tidak proporsional. Untuk melihat langsung dalam melihat di Situs Pagaruyung, Gudam, Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar
Dalam tulisan tersebut menyebutkan Tumanggung Kudawira sebagai salah seorang pembesar kerajaan. Prasasti ini merupakan stempel atau cap pembuatan bagi Tumanggung Kudawira. Siapa Tumanggung ini belum dapat dijelaskan secara detail karena baru satu bukti tentang keberadaan beliau. Merujuk isi prasasti tersebut bahwa Tumanggung merupakan jabatan pemerintahan yang sering dipergunakan pada masa Kerajaan Singhasari dan Majapahit. Menurut catatan sejarah ekspedisi Pamalayu yang dicetus oleh Raja Krtanegara dari Singhasari dapat diasumsikan bahwa Kudawira ini merupakan Tumanggung dari kerajaan Singhasari yang ikut ekspedisi tersebut. Jika analisa ini benar, maka Prasasti Pagarruyung VI ditulis jauh sebelum Adityawarman menjadi raja, karena Adityawarman merupakan anak yang lahir dari Ibu Dara Petak yang dibawa oleh pasukan Singhasari dari Malayu ke Jawa.
Fakta yang telah disampaikan pada alinea terdahulu menunjukan bahwa jabatan yang semula bernama Temanggung berubah menjadi Katumanggung menurut dialek Minangkabau. Seorang tokoh yang sangat popular dan dianggap sebagai tokoh adat Minangkabau juga menggunakan nama jabatan Datuk Katumanggungan, Apakah nama ini sama dengan tokoh Tumanggung kudawira dan ini perlu pembuktian lebih lanjut.
Prasasti kedua yang ada hubungan dengan nama dan peristiwa asal-usul nenek moyang masyarakat Minangkabau adalah Prasasti Pagaruyung VII. Prasasti Pagaruyung VII merupakan tulisan yang digoreskan pada sebuah batu andesit warna abu-abu berbentuk persegi pipih, artificial. Batu media prasasti tersebut sekarang dalam keadaan patah sehingga ada beberapa tulisan dan huruf tidak terbaca dengan baik dan hilang. Prasasti iniberukuran tinggi 82 cm, lebar 50 cm dan tebal 10 cm. Untuk melihat langsung dalam melihat di Situs Pagaruyung, Gudam, Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar
Prasasti ini tidak diketahui angka tahunnya, hanya didalamnya menyebutkan Sri Akarendrawarman sebagai Maharajadhiraja. Pemakaian nama wangsa warmman dibelakang menunjukan bahwa Sri Akarendrawarmman masih ada hubungan darah dengan Adityawarmman. Beberapa ahli sejarah menyebutkan sebagai saudara Adityawarman dan karena gelarnya adalah maharajadhiraja tentunya ia sudah menjadi raja saat mengeluarkan prasasti tersebut. Menurut analisa ahli, ia diangkat setelah Adityawarmman turun tahta atau meninggal. Dalam prasasti tersebut juga menyebutkan nama tuhan perpatih bernama Tudang (datuk perpatih nan sabatang) dan seorang yang disebut dengan tuhan gha sri rata. Kedua pembantu raja yang setia dan patuh. Isi prasasti yang lain adalah sumpah atau kutukan yang ditujukan pada orang yang mengganggu atau tidak mengindahkan maklumat raja didalam prasasti tersebut.
Hal lain yang dapat diungkap dari isi prasasti ini adalah nama jabatan tuhan parpatih dan tuhan gha. Jabatan tuhan parpatih tampaknya sama dengan jabatan tuhan patih di dalam pemerintahan kerajaan Majapahit, sedangkan tuhan gha belum dapat diidentifikasikan lebih lanjut. Istilah penyebutan tuhan pada dasarnya menunjukan pada sebutan pemimpin dalam suatu kelompok tugas. Nama-nama jabatan tuhan ini sering kita temukan dalam prasasti-prasasti Jawa Kuna abad IX-XIII M seperti tuhan ni kanayakan, tuhan ni lampuran, tuhan parujar dan sebagainya. Kedudukan tuhan tersebut sama dengan juru dan dapat juga berarti pimpinan. Sedangkan jabatan patih termasuk jabatan desa yang tergolong dalam istilah rama atau tetua desa. Pada masa kerajaan Majapahit patih naik menjadi pembantu dekat raja.
Menurut Casparis prasasti di atas dikeluarkan oleh Raja Akarenddrawarman yang memerintah sebelum Adityawarman, yaitu sekitar paruh pertama abad ke -14. Isi prasasti mengenai perjalanan yang dilakukan oleh Prabu. Ia diantar oleh pembesar-pembesar seperti tuhan arya, mantra dan tuhan parpatih. Kemudian isi prasasti ini juga menyebutkan parhyangan yang menurut analisa sama dengan Nagari Pariangan, letaknya 10 km dari Kota Batusangkar. Pariangan juga ditemukan sebuah prasasti dan tulisannya sudah sangat aus. Kata lain yang menarik adalah berampat suku, suatu istilah yang sangat terkenal dalam adat Minangkabau yang aslinya disebut dengan Nagari Barampat Suku, yaitu suatu wilayah yang berdasarkan adat istiadat lama yang terdiri dari empat suku (Bodi, Chaniago, Koto, dan Piliang). Isi prasasti yang fenomenal adalah pemindahan pusat kerajaan dari Jambi ke Perdalaman pada masa Raja Akarenddrawarman atau sebelum tahun 1347 M, yaitu tarikh prasasti Amoghapasa dan Prasasti Kapolo Bukit Gombak I (Prasasti Pagaruyung III).[6]
Fakta yang telah disampaikan pada alinea terdahulu menunjukan bahwa jabatan yang semula bernama tuhan patih berubah menjadi tuhan parpatih menurut dialek Minangkabau. Seorang tokoh yang sangat popular dan dianggap sebagai tokoh adat Minangkabau juga menggunakan nama jabatan parpatih Datuk Parpatih Nan Sabatang, Apakah nama ini sama dengan tokoh Tuhan Parpatih Tudang dan perbuktian lebih lanjut. Mengingat kedudukan datuk sebagai pemimpin sama fungsi dengan tuhan, sehingga terjadi peralihan sebutan sesuai dengan lingkungan dialek Minangkabau.
Kemudian kita juga mengenal adanya prasasti Pariangan yang ditemukan di tepi Sungai Mengkaweh yang mengalir dari kaki Gunung Marapi, Nagari Pariangan Kab. Tanah Datar. Lokasi ini ada disebelah timur Kota Padang Panjang dan sebelah Barat dari Batusangkar. Bahan batunya dari jenis trchty, dengan ukuran tinggi 1,6 m, lebar 2,6 m dan tebal 1,6 m. Prasasti ini dipahatkan pada batu monolit non artificial berbentuk setengah lingkaran dalam tulisan berjumlah 6 baris. Aksara yang dipakai sama dengan aksara prasasti Adityawarman lainnya. Terdapat angka tahun yang sudah aus, yang dapat dibaca hanya dua angka yang didepan yaitu 12. Kondisi prasasti ini sudah terlalu aus sehingga tidak memadai untuk dibahas lebih lanjut.[7]
Merujuk dengan tiga prasasti tersebut menurut hemat penulis adalah suatu peristiwa yang terjadi pada masa lalu, kemudian karena trasformasi berita ini melalui cerita dari mulut ke mulut (Tambo) akibatnya terjadi pembiasan informasi. Berdasarkan prasasti yang ada nama-nama peristiwa dan tokoh yang ada ada seperti Maharaja diraja, Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang dan ditambah temuan prasasti yang ada di Sungai Mengkaweh di pariangan menguatkan analisa yang ada tentang sejarah Minangkabau secara nyata. Berdasarkan analisa tersebut bahwa kejadian yang ada ini bertarikh abad ke-13 dan ke-14. Sedangkan peristiwa yang diinformasikan tambo sezaman perkembangan kebudayaan hellenisme yang dibawa Iskandar Zulkarnain sebelum abad masehi. Jadi informasi yang disampaikan tambo belum tepat waktunya dan peristiwanya.
Peninggalan Arkeologis
Berbicara masalah sejarah Minangkabau, seperti yang telah dijelaskan pada bagian diatas kita tidak dapat terlepas dari persoalan Kerajaan Pagaruyung.[8] Raja-raja dibawah panji kerajaan Pagaruyung tersebut telah menyebar keberbagai daerah, bukan saja di Indonesia namun sampai kemancanegara, yakni Malaysia dan Brunei Darussalam. Kekuasaan kerajaan Pagaruyung tersebut telah membentuk suatu hegomoni, dibawah Raja Alam berpusat di Pagaruyung. Khusus di alam Minangkabau, raja-raja kecil tersebut berjumlah 61 buah kerajaan, baik yang ada di daerah darek dan rantau Minangkabau.[9] Mereka biasanya dipangil dengan istilah Yang Dipertuan, Rajo, dan Sutan. Mereka ada yang berasal dari keturunan langsung raja Pagaruyung dan adapula yang ditunjuk oleh raja sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah. Dalam kondisi inilah muncul hubungan yang diistilahkan dengan Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Kapak Radai, Timbang Pacahan Kerajaan Pagaruyung.[10]
Dari persepktif arkeologis, berdasarkan data yang didapat sudah tidak banyak lagi ditemukan benda-benda dari kerajaan Pagaruyung. Hal tersebut dapat dimengerti karena telah terjadi beberapa kali kebakaran terhadap istana, sehingga barang-barang koleksi berharga istana juga ikut musnah terbakar. Namun demikian dari hasil pendataan yang dilakukan masih terdapat beberapa koleksi yang sangat berharga yang dipelihara oleh pewaris kerajaan di Istano Silinduang Bulan. Koleksi tersebut tidak saja bisa membantu dalam pengungkapan sejarah kerajaan Pagaruyung, namun juga sebagai bukti eksistensi kerajaan Pagaruyung yang masih dapat kita temukan pada masa sekarang.
Sesuai dengan peraturan yang ada, benda-benda koleksi Kerajaan Pagaruyung tersebut dapat dikategorikan sebagai cagar budaya yang harus dilestarikan. Seperti pada fasal 1(a) pada undang-undang tersebut dikatakan bahwa benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Memperhatikan hal itu sesuai dengan penelitian pihak purbakala maka ditemukan beberapa tinggalan benda cagar budaya bergerak dari kerajaan Pagaruyung yang sekarang merupakan koleksi dan dipelihara oleh pewaris kerajaan di Istano Silinduang Bulan. Secara keseluruhan benda-benda tersebut berjumlah 20 koleksi benda cagar budaya bergerak yang terdiri dari berbagai macam bentuk dan bahan, seperti senjata, tongkat, keramik, nisan, cap/stempel, arca, dan lain-lain.(Bersambung)
Penulis :
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
[1] Referensi awal tentang hal ini lebih lanjut lihat Amran, Rusli, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta : Sinar Harapan, 1981 : 37 ; Kiram, Ahmad, dkk, Raja-raja Minangkabau dalam Lintasan Sejarah. Padang : Museum Adityawarman dan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sumatera Barat, 2003 : 2003, dan Imran, Amrin. dkk. Menelusuri Sejarah Minangkabau. Padang : Yayasan Citra Budaya Indonesia dan LKAAM Sumatera Barat, 2002 : 20.
[2]Beberapa isi dari tulisan ini bersumber pada Nurmatias, “Sisi Lain dari Sejarah Minangkabau” dalam Suluah volume 9, nomor 10 , Juni 2009 : 54-61.
[3]Dobbin, Christine, Gerakan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah Sumatera Barat 1784-1847, INIS, 1992 :137-138.
[4] Schnitger F. M, Forgotten Kingdoms of Sumatera, C.J. Brill. 193:16-72; lihat juga Dobbin, Christine, Gerakan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah Sumatera Barat 1784-1847, INIS, 1992;139.
[5] Kahin, Audrey, Dari Pemberontak ke Integrasi (Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998), Yayasan Obor Indonesia, 2005 : 1-2.
[6] Casparis,J.G de, “ Kerajaan Melayu dan Adityawarman”’ Dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno. Jambi: Pemda Tk. I Jambi dan Kanwil Depdikbud Jambi, 1992 : 7-9.
[7] Mach Suhadi, silsilah Adityawarman, “ dalam Kalpataru Majalah Arkeologi No. 9 (Saraswati:Esai-Esai Arkeologi) Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional: Depdikbud, 1990 :222.
[8] Kerajaan Pagaruyung merupakan sebuah kerajaan yang berpusat di luhak Tanah Datar, Minangkabau. Istana kerajaan berada di Nagari Pagaruyung, yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan raja-raja Pagaruyung. Luhak Tanah Datar sendiri merupakan salah satu bagian dari luhak nan tigo yang terdapat dalam konsepsi masyarakat Minangkabau terutama tentang alamnya. Kerajaan Pagaruyung itu sendiri didirikan oleh Adityawarman dan mencapai puncaknya sekitar abad ke-14 dan ke-15, ketika Adityawarman masih berkuasa. Lebih lanjut lihat Amran, Rusli. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta : Sinar Harapan, 1981 : 37.
[9]Daerah Minangkabau sesungguhnya dapat dibagi dalam tiga lingkungan wilayah yaitu (1).Minangkabau asli, yaitu oleh orang Minangkabau disebut (darek) yang terdiri dari tiga luhak yaitu Luhak Agam, Tanah Datar dan Luhak Lima Puluh Koto, (2) Daerah rantau, yang merupakan perluasaan bentuk koloni dari setiap luhak tersebut diatas yaitu pertama rantau luhak Agam yang meliputi dari pesisir barat Pariaman sampai Air Bangis, Lubuk Sikaping dan Pasaman. Kedua, rantau Luhak Lima Puluh Koto yang meliputi Bangkinang, Lembah Kampar Kiri, Kampar Kanan, Rokan Kanan, Rokan Kiri, (3) Rantau Luhak Tanah Datar meliputi Kubuang Tigo Baleh, Pesisir Barat, Pesisir Selatan dari Padang sampai Indrapura, Kerinci dan Muara Labuh. Lebih lanjut lihat Amir Syarifuddin Pelaksanaan hukum kewarisan Islam dalam lingkungan adat Minangkabau. Jakarta : Gunung Agung, 1984. hal.78-83. Lihat juga Gusti Asnan, Kamus sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM), 2003.hal. 282-283.
[10] Sapiah Balahan adalah keturunan raja dari pihak perempuan secara matrilineal yang dirajakan di luar Pagaruyung. Kuduang Karatan adalah keturunan raja Pagaruyung dari pihak laki-laki. Mereka tidak dapat menjadi raja di Pagaruyung, sekalipun pewaris raja Pagaruyung itu punah. Mereka hanya berhak menjadi raja pada daerah-daerah yang telah ditentukan bagi mereka untuk menjadi raja, karena mereka tidak berada dalam lingkar garis matrilineal. Hal ini juga disebabkan ibu mereka bukan dari keturunan raja Pagaruyung. Kapak Radai dan Timbang Pacahan, kedua kelompok ini terdiri dari orang-orang besar, raja-raja dan datuk-datuk di Luhak dan di Rantau, yang diangkat dan diberi penghormatan oleh raja Pagaruyung sebagai aparat raja.