BUKITTINGGI, bakaba.net – Dr. Siti Ruhaini Zhuhayatin Tenaga Ahli Utama Kantor Staff Kepresidenan RI menegaskan saatnya Indonesia menjadi pionir dalam penegakan HAM.
“Sebagai negara yang luas dan besar sudah saatnya menjadi pionir atau terdepan dalam penegakkan HAM,” kata Dr. Siti Ruhaini Zhuhayatin dalam diskusi virtual melalui ruang zoom meeting yang digelar Lembaga Penelitian dan Pengabdian (LP2M) IAIN Bukittinggi.
Siti Ruhaini dalam diskusi bertemakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kesejahteraan berperspektif keadikan gender itu terus menekankan Indonesia sebagai negara yang luas dan besar sudah saatnya menjadi pionir atau terdepan dalam penegakkan HAM, ke depan tugas-tugas akademik salah satunya adalah mendorong secara aktif kearah itu, bisa diwujudkan melalui penelitian dan kajian-kajian yang terkait dengan hal itu.
Dr. Siti Ruhaini Zhuhayatin menjadi pembicara utama dalam diskusi yang berlangsung 2,5 jam lebih pada tanggal 18 Juni 2020
Diskusi yang sangat mencerahkan ini, diikuti oleh akademisi dan praktisi dari berbagai kampus di Indonesia.
Selain dari Siti Ruhaini, ada Rektor IAIN Bukittinggi Ridha Ahida memaparkan tentang bagaimana eksistensi kampu-kampus tersebut menjadi wadah kajian-kajian tersebut, disamping menjadikan kampus sebagai laboratorium mewujudkan keharmonian tanpa ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, dimana memiliki kesempatan yang sama.
Penggiat kajian Mubaadalah Indonesia Dr. Faqih Abdul Kodir yang juga dosen IAIN Cirebon menyampaikan, saalah satu untuk mewujudkan kesejahteraan itu adalah adanya saling melengkapi satu sama lain, saling menghargai dan tidak ada diskriminasi. Islam sebagai agama rahmatalil’alamiin telah mengajarkan kepada kita semua membangun kesejahteraan itu tidak hanya untuk satu kelompok saja, atau untuk jenis kelamin tertentu saja.
Sementara Yefri Hariani, M.Si selaku kepala Ombudsman Perwakilan Sumatera Barat yang sebelumnya sebagai Direktur Nurani Perempuan juga memaparkan dengan sangat rinci tentang bagaimana mewujudkan keadilan dalam pelayanan publik, tidak ada mendiskriminasi dan membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Diskusi virtual yang dimoderaori oleh Dr. Silfia Hanani ini menjadi salah satu hal yang penting bagi akademisi dan praktisi untuk memperkaya pengetahuan, sekaligus dapat menjadi pijakan dan pengaut analisis bagi kalangan akademisi yang bergalut dengan penelitian dan pengabdian. (TIM)