Rajab Antara Isma Dan Dedy

Rajab Antara Isma Dan Dedy

- in ADAT
0

Oleh: GAZALI

Direktur Pascasarjana IAIN Bukittinggi

 

Entah apa yang mebuat dua orang anak muda ini kembali membangkit roh Pak Rajab di tengah ke galauan kaum milenial Minang yang menurut Dedy “binguang” ndak tau arah. Isma berceloteh tentang Pak Rajab di majalah on-line tempo pada tanggal 4 Juli 2020, sedangkan Dedy menuturkan kekagumannya terhadap pak Rajab yang “bagak” dan “bangih” terhadap suku Minangkabau yang eksotik, eksklusive namun bisa toleran di tengah pluralitas, pada 27 Juni 2020 di klikpositif-koran on-line.

Dalam penelusurannya Isma lebih banyak mewawancarai anak-anak Rajab dan tidak banyak mengutip kecuali bangga dengan hasil karya Pak Rajab yang di antaranya; Perang Padri, Kenang-Kenagan Dari Tiga Zaman; Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis, Dongengan Sulawesi Selatan, Semasa Kecil Di Kampong Dan Sistim Kekerabatan Minangkabau, Isma hanya memberikan penilaian.

Kemampuan akdemis Rajab dalam dunia jurnalistik dan tulis menulis, serta kehebatan Rajab sebagai seorang poligotisme, yang meyelamatkan anak-anaknya setelah wafat karena menerjemahkan saduran dari Kenang-Kengan Dari Tiga Zaman; Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis, milik “inyiak’ Pak Prabowo.

Kemudian Isma menarik benang merah dari beberapa buku di atas tanpa mengembangkannya lebih lebar. Kehidupan pribadi Rajab lebih menarik bagi Isma dengan mewawancarai beberapa orang ankanya, sikap dinginnya terhadap anak yang mejalankan disiplin ketat serta prinsip hidup saling menenggang sesama kawan dituturkan Isma lewat tuturan anaknya Nusyirwan.

Isma tidak tertarik terhadap isi buku yang ditulis oleh Rajab yang merupakan cerminan dari pemahamannya terhadap yang dia lihat dan itu punya dampak terhadap kehidupan Rajab sendiri dan anak-anaknya. Isma menjelskan kehidupan seorang Rajab yang sederhana dengan keluarga besarnya dengan sikap idealis sebagai seorang jurnalis.

Protipe seorang Rajab akan utuh dibaca apabila disandingkan dengan ujaran Dedy di dalam mengupas tiga buah buku yang menurutnya masih pantas untuk dibalik-balik saat ini. Dedy sangat tertarik dengan keluh kesah Pak Rajab terhadap sukunya sendiri dalam dua buku, Sistim Kekerabatan Minangkabau dan Semasa Kecil di kampong. Tidak ada yang salah dengan sistem kekerabatan ini, walupun akan bangga dengan sistim yang unik, dan satu-satunya ini di Nusantara dan dua di dunia.

Matrilineal berkembang di Minagkabau saat ini secara beradab. Garis keturunan ibu masih dipertahankan dengan masih melekatkan suku ibu kepada anak. Harta pusaka tinggi masih diwariskan dari mamak ke kemenakan termasuk gelar datuk. Apakah orang  minang tidak berubah, “pasti”.

Seorang bapak yang juga berfungsi sebagai mamak betul-betul memahami dan melaksanakan falsafah “anak dipangku kamanakan dibimbing”. Bapak di Minangkabau saat ini sangat peduli dengan anaknya dari segi kelanjutan pendidikan, ekonomi dan nasib anak mereka kelak. Kekurangan-kekurangan yang disinyalir oleh Rajab mulai dan bahkan sudah terbantahkan saat ini.

Anak-anak sudah sebagian besar menjadi tanggungjawab bapaknya dengan tidak mengenyampingkan peran seorang mamak. Menihilkan saja pusaka yang telah diwariskan nenek moyang kita adalah sebuah kesalahan besar. Memelihara sambil mengembangkan dengan cara-cara yang elegan adalah sebuah langkah bijak.

Apa yang dilakukan oleh Dedy dan Isma dalam waktu yang berdekatan sepertinya ingin mengorek sisa-sisa kejayaan orang Minang di masa lalu yang beberapa kali sempat disentil oleh “orang Jawa”; mana ni ulama dari Minangkabau, atau beberapa orang tokoh yang selentingan ingin menggoyang Rumah Gadang ini. Seiring berjalannya waktu, persaingan dan kesempatan menjadi salah banyak dari kemunculan tokoh saat ini. Menyebut satu persatu berdasarkan keahlian, itupun sudah bercabang banyak.

Kepentingan politik sangat menjadi faktor dominan dalam mengeyampingkan suku ini. Dua kali pemilu dengan mengambil keputusan berbeda dari orang banyak adalah “keputusan” berani di tengah minimnya prestasi yang mungkin belum bisa diacungkan. Menjadi berbeda di tengah kesamaan adalah identitas suku ini. Akan tetapi tetap menjadi pilihan selera utama di Nusantara, semestara itu yang bisa dibanggakan. Mudah-mudahan ke”galau”an dua anak muda di atas menjadi motifasi bagi milenial yang sedang sibuk daring. (***)

Leave a Reply