Oleh: Adri Yanto
Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara
Ditengah pandemi saat sekarang ini, DPR kembali meberikan kejutan kepada publik. Yang membuat kontroversi di kalangan masyarakat terhadap keputusan atau kebijakan yang dibuatnya.
Tepatnya pada tanggal 5 Oktober 2020 DPR telah mengesahkan RUU Omnibuslaw cipta kerja, yang mana RUU ini mendapat banyak kritikan dan penolakan sebelumnya, supaya perjalanan RUU ini tidak disahkan.
Namun para wakil rakyat yang ada di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat tidak megindahkan apa yang di seru atau yang diaspirasikan oleh rakyat. Meraka malah tetap membahasnya sampai pada tahap pengesahan.
Secara konsep omnibuslaw ini sebenarnya dikenal dan dipakai oleh Negara-negara yang menganut sitem common law, seperti Amerika, Kanada, suriname dan Negara yang menganut sistem common law lainnya.
Lalu bagaimana dengan Negara kita Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa kontinental? Yang mana sistem Eropa kontinental didasarkan pada perjanjian rakyat dengan pemerintah.
Rakyat memberikan amanah kekuasaan kepada pemerintah, dan pemerintah menjamin kesejahteraan dan ketentraman rakyat.
Lalu timbullah pertanyaan, Omnibuslaw dibuat apakah untuk kepentingan Umum atau untuk kepentingan kelompok?
Apakah untuk ketentraman rakyat atau untuk ketentraman para investor? Dalam hal ini menurut hemat penulis, maka Omnibuslaw ini bukan untuk kepentingan umum.
Buktinya dalam proses pembuatan undang-undang ini sudah tidak lagi mengimplementasikan apa yang sudah dicantumkan dalam regulasi Undang-Undang No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang No 15 tahun 2019.
Pada pasal 5 hurug g yaitu asas keterbukaan dan juga asas materi muatan pada pasal 6 asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, keadilan, kebhineka tunggal ika dan asas yang lainnya. Keterbukan maksudnya bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusuna sampai kepenetapan dan pengundangan harus transparan.
Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat harus memliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan.
Namun pada kenyataannya aspirasi rakyat dibatasi dan tidak diindahkan, mereka tetap berjalan dengan penuh keegoisannya.
Materi muatannya ada yang bertentangan dengan asas yang ada, seperti adanya penghapusan upah minimum, pemotongan hak cuti, tak ada batas waktu kontrak, menghapus pesangon bagi pekerja PHK yang mana dinilai tidak adanya keadilan dan rasa kemanusiann.
Padahal waktu pembahasan Omnibuslaw ini banyak masukkan dari lapisan masyarakat, partisipasi masyarakat sangat dominan karena dijamin juga oleh pasal 96 undang-undang no 12 tahun 2011 tersebut. Akan tetapi para wakil rakyat tersebut tidak mendengar dan mengabaikan apa yang diaspirasikan oleh rakyatnya.
Dengan demikian sekarang Omnibuslaw telah disahkan, maka pro dan kontra serta penolakan terhadap keputusan tersebut semakin menjadi-menjadi dilapisan masyarakat.
Pada penegesahan ini ada 7 fraksi yang menerima dan 2 fraksi yang menolak. Padahal disini kita berharap dari fraksi atau parpol yang berada di DPR bisa memperjuangkan aspirasi rakyat, namun bertolak belakang dengan realitanya.
Secara konsep parpol menurut Miriam Budardjo berfungsi sebagai sarana komukasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen politik, pengatur konflik dan sarana elaborasi pilihan- pilihan kebijikan. Dan juga pada Undang-undang No 2 tahun 2008 tentang partai politik pasal 10 dan 11 bahwa fungsi parpol diantarnya mengembangkan kehidupan demokrasi, mewujudkan kesejahteraan, dan penyaluran aspirasi politik masyarakat.
Lalu apa langkah atau alternatif apa yang bisa kita lakukan? Menurut hemat penulis bahwa langkah yang bisa kita lakukan. Pertama, kita tetap mengawal terhadap keberlakuan Omnibuslaw Cipta kerja ini.
Kedua, pada Undang-Undang No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang No 15 tahun 2019 pasal 95 A ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa adanya pemantauan dan peninjauan terhadap undang-undang yang dilakukan setelah berlaku.
Pemantauan dan peninjauan itu dilaksanakan oleh DPR, DPD dan Pemerintah. Ketiga, dengan jalan judicial review terhadap Omnibuslaw cipta kerja tersebut apakah dari segi materil atau formilnya.
Keempat, menerbitkan PERPU untuk pembatalan UU Omnibuslaw cipta kerja tersebut. Namun langkah yang keempar ini mustahil terjadi karena Omnibuslaw ini atas usulan pemerintah itu sendiri.
Ketika langkah ini tidak juga menimbulkan yang namanya kententraman dan keadilan maka langkah yang terakhir adalah mambangun revolusi yang tidur selama ini yaitu Parlemen jalanan.
Oleh karena itu alangkah bijaknya para wakil rakyat dan para rezim bertindaklah untuk rakyat, ketika bertindak untuk rakyat maka akan tercipta kedamaian dan ketentraman.
Jangan selalu cenderung bersifat oligarki karena kita negara demokrasi. Aspirasi rakyat di pahami dan ditelusuri dan jangan hanya menjadi sekedar syarat demokrasi. Posisikan sebagai wakil rakyat bukan posisikan sebagai wakil sekelompok orang.
Referensi:
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar ilmu hukum tata Negara.Jakarta: Sekreatarisat Jenderal MK RI Budiardjo. Miriam .1992. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Undang-Undang No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang No 15 tahun 2019.
Undang-undang No 2 tahun 2008 tentang partai politik (***)