Oleh Silfia Hanani
Setiap tanggal 20 Mei kita peringati sebagai hari kebangkitan Nasional, sebuah memorial sejarah yang harus ditauladani dan dijadikan fondasi untuk kepentingan bangsa ini.
Kita belajar banyak pada semangat heroik para pejuang-pejuang dan founding father bangsa ini, mengajarkan rela berkorban, berjuang dengan hati nurani, berjuang melawan musuh negara dan bangsa.
Kali ini di tahun 2020 ini nyali perjuangan itu diuji dengan sekonyong-konyong oleh pandemik covid-19.
Amukan badai pandemik covid 19, telah menghempaskan berbagai sendi-sendi kehidupan bangsa, sehingga memunculkan berbagai masalah.
Kita didesak untuk survive di tengah-tengah ancaman itu, tidak serta merta kalah dan menyerah, tetapi harus menyusun strategi untuk melawannya.
Pemerintah telah mencoba melakukan mulai dari pembatasan sosial, pembatasan badaniah dan akhirnya sampai pembatasan sosial berskala besar.
Namun, yang terjadi adalah kita belum juga berhasil sampai saat ini mengatasi ancaman virus itu. Tapi kita yakin badai ini pasti belalu dan kita berharap segera, karena kita masih memiliki rasa nasionalisme rasa pertanggunjawaban anak bangsa untuk kepentingan bangsa dan negaranya.
Jika kita tidak punya semangat nasionalisme itu, mungkin ancaman covid 19 ini menjadi derita panjang bagi kita dan bangsa kita.
Tapi sayang, rasa nasionalisme itu tengah terkoyak dan terkota-kotak bahkan telah menipis dan memgalami degredasi, sehingga ketika terjadi masalah bangsa suara kita tidak satu dan padu dalam mengatasinya.
Pada akhirnya, kita mengalami kemunduran-kemunduran ditengah-tengah hiruk pikuk kemajuan itu sendiri, kita mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah-masalah, sehingga kita tengah kehilangan, cara membangun kekuatan kebangsaan itu.
Rasa nasionalisme sekarang ini sudah terpapar oleh tradisi transaksional, tradisi balas budhi. Kita dalam berbangsa tidak lagi diajarkan untuk rela berkorban, tetapi diajarkan hutang budi untuk kepentingan-kepentingan kelompok, rasa nasionalisme kita telah direbut oleh rasa kepentingan-kepentingan kelompok itu, sehingga semangat rela berkorban, kejujuran sudah mahal harganya.
Makanya ketika ada seorang nenek di Malalak Agam viral di media sosial karena dengan bijak menolak menerima bantuan beras karena persediannya masih cukup dan mempersilakan untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya, kita terkesimak dan benar-benar mendapat pelajaran berharga. Potret seperti itu sudah langka kita suguhkan dan dapati.
Pada hal tokoh-tokoh bangsa kita telah mengajarkan rasa nasionalisme itu dengan bijak, mengatasi masalah dengan nurani dan sepenuh hati. Bukan dengan kepentingan yang ingin dibalasi.
Kita punya tokoh seperti Bung Hatta (1902-1980), Tan Malaka (1897-1949), Agus Salim (1884-1954), Sutan Syahrir (1909-1966), Mohamaad Yamin (1903-1962) dan seterusnya. Dimana tokoh-tokoh itu telah memberikan role model contoh tauladan berkorban untuk bangsa tanpa ada batasnya, apalagi batas individu.
Rasa nasionalisme yang tinggi itu pula mereka menjadi tokoh nasional yang dihargai dan ditauladani oleh lintas umat, lintas bangsa, lintas budaya dan lintas politik seterusnya.
Makanya bangsa yang besar ini bisa berdaulat dan merdeka dari tangan-tangan penjajahan yang sudah lama menikmati kekayaan bangsa ini. Rasa nasionbalisme sudah terbukti telah mengeluarkan bangsa ini dari kepahitan hidup, kepahitan masalah.
Makanya untuk mengatasi himpitan kepahitan ancaman virus global pandemik ini, rasa nasionalisme kita juga akan mampu untuk mengtasinya.
Rasa itu menjadi modal sosial bagi kita semua, modal untuk membangun kekuatan bersama dan seterusnya, seperti telah dibuktikan oleh semangat nasionalisme yang penuh heroik yang dicontohkan oleh pendiri bangsa.
Kita pupuk dan rajut kembali semangat nasionalisme kita dengan setulus hati, bukan dengan balas budhi. (***)