Oleh: Mailiza Fitri
Mahasiswa S3 Ilmu Syariah UIN Bukittinggi
Tanpa aba-aba dan datang tiba-tiba, itulah yang terjadi pada kesunyian malam di hari Sabtu tanggal 11 Mei 2024, galodo menghantam tiada ampun meluluhlantakkan setiap sudut dan sendi kehidupan anak nagari di Ranah Minang.
Saat itu tidak banyak yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan diri dari terjangan air bah yang sarat dengan muatan muntahan dari perut bumi, apalagi untuk menyelamatkan orang lain, sungguh sangat mustahil. Tiada daya dan upaya, yang paling mungkin dilakukan hanyalah mengharapkan pertolongan dari Sang Maha Pengendali Alam Semesta Allah SWT.
Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun…..itulah kalimat yang paling pantas diucapkan dalam menghadapi kenyataan bencana galodo yang telah menimpa. Kita sebagai hamba yang beriman, sangat meyakini bahwa tidak ada satu kejadianpun yang luput dari ketetapan dan takdir dari sang Penguasa Illahi Rabbi.
Galodo yang melanda negeri tercinta Ranah Minang, telah menelan korban jiwa, harta dan menyisakan trauma yang sangat mendalam. Semua berubah drastis, gelak tawa menjadi rasa pilu dalam isak tangis, senda gurau bertukar air mata berbalutkan kemuraman, pengharapan hanya menyisakan kenestapaan dan semuanya terjadi dalam sekejab mata.
Sekarang, bukan saatnya untuk saling menyalahkan mencari kambing hitam dari petaka ini, tidak bijak pula menyalahkan alam yang tidak mau lagi bersahabat dengan manusia. Semuanya telah terjadi, takdir Alllah SWT telah berlaku tanpa ada yang sanggup mencegah dan membalikkan waktu demi menyelamatkan nyawa yang telah kadung kembali ke haribaan Sang Khaliq.
Ayat-ayat Kauniyah Allah SWT telah perpampang jelas di pelupuk mata, tidak ada yang mampu mendustainya walapun berkilah dengan alasan ini dan itu. Hukum alampun telah berlaku bahwa setiap akibat pasti ada sebab yang mengundangnya walau terkadang manusia enggan mengakuinya.
Sungguh Sang ar-Rahiim telah memberikan sinyal kasih sayangnya kepada insan sang khalifah di muka bumi melalui firmanNya : Dan apa saja musibah yang menimpa kamu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). QS: Asy Syura : 30).
Senada dengan itu dalam QS: An-Nisa: 79) “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka, dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” Sang kekasih Allahpun, Rasullah SAW ikut mengaminkan dengan sabda beliau : Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada pikiran), sedih (karena sesuatu yang hilang), kesusahan hati atau sesuatu yang menyakiti, sampai pun duri yang menusuknya, melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya”.
Lebih dari cukup bagi kita untuk bisa mengambil ‘ibrah dan i’tibar dari bencana kiriman alam ini, walaupun secara kasat mata dan penglihatan zahir manusia sungguh butuh usaha yang luar biasa untuk menerimanya dengan kelapangan hati dan keikhlasan jiwa. Kita harus mampu menghujamkan dalam sanubari bahwa Allah SWT telah menyematkan sifat Rahman dan RahimNya dalam setiap kesulitan, kesusahan dan kepedihan yang dibawa oleh galodo, serta pahala yang tak terhingga telah menunggu bagi orang-orang yang sabar menerimannya.
Di ujung kegelapan ada cahaya terang telah menunggu, di puncak kesulitan ada kemudahan , Allah SWT telah menakar dan mengukur setiap cobaan yang diberikan tidak akan pernah melampaui batas kemampuan manusia.
Alam semesta mempunyai caranya sendiri untuk menegur dan mengingatkan manusia untuk tidak terus menerus mengusik dan mengganggu ketenangannya.
Hentikanlah perilaku tamak dan serakah menjarah kekayaan alam, tanpa memberikan hak-haknya. Biarkanlah alam hidup dengan fitrahnya, rawatlah dia sebagai rasa syukur atas pemberiannya dan “mengalahlah” dengan semesta agar kita bisa hidup berdampingan dengan damai.
Cukuplah “alam takambang manjadi guru” menjadi cemeti agar tidak lagi membuat kesalahan dan jatuh ke jurang yang sama. Mari kita benahi dari awal, hapus air mata, tidak ada kata terlambat untuk kembali kepada ampunan Allah SWT yang Maha Penerima Taubat, patut kita renungkan kembali falsafah hidup warisan nenek moyang “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”. (***)