Ketika LGBT Minta Kesetaraan

Ketika LGBT Minta Kesetaraan

- in Headline, OPINI
0
Oleh Muhammad Fadhil
Dalam buku yang berjudul Homo Deus tulisan Yahya Noah Harari ahli sejarah kebangsaan Israel menerangkan bahwa dalam kacamata Huminisme, lesbian, gey, biseksual, transgender (LGBT) merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak boleh di ganggu oleh siapapun termasuk doktrin teologi.
Karena paham ini menyakini bahwa kehendak bebas manusia adalah otoritas tertinggi dalam kehidupan, keadilan hanya di dapat dari tangan-tangan manusia bukan Tuhan, dan apapun yang dilakukan selagi baik baginya dan tidak pula menggangu manusia lain maka boleh di lakukan.
Dalam era dewasa yang maju akan perkembangan teknologi, ternyata doktrin humanisme tentang LGBT masih saja mejadi sorotan masyarakat dunia. Melihat banyaknya aktivis LGBT yang kian hari menuntut keadilan hak dan legalitas kepada pemerintah.
Di indonesia sendiri, populasi LGBT ibarat ikan yang tumbuh dan berkembang dalam kolam. Meski berada dalam ruang terbatas namun mereka mampu berkembang biak dengan cepat. Lalu pertanyaannya, siapa yang memberi makan ikan-ikan tersebut ?
Dan apa yang mendasari LGBT berkembang begitu masif dan cepat ?
Mari kita melirik kesatu daerah, Sumatera Barat contohnya. Provinsi yang ada di Indonesia ini merupakan daerah bermayoritas muslim dan kental akan tradisi dan budayanya. Tetapi data menunjukan bahwa Sumbar menjadi salah satu provinsi penampung populasi LGBT terbanyak.
Berdasarkan data yang di lansir dari tim konselor penelitian perkembangan penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), angka LGBT di Sumbar tercatat sebanyak 18.000 orang. Angka ini sebesar 64 % dari kapasitas stadion Haji Agus salim yang dapat menampung sebanyak 28000 orang.
Fenomena LGBT tidak bisa di selesaikan bila hanya bertumpu pada regulasi pemerintah. Karena LGBT adalah problem etis yang tidak dapat terselesaikan dengan cara teknis.
Bila kita bayangkan regulasi tentang LGBT di perketat oleh pemerintah, maka konsekuensinya akan banyak pelaku LGBT yang di hukum secara pidana. Tentu hal tersebut akan membuat komunitas LGBT dimanapun akan merasa dikriminalisasi dan dikekang oleh pemerintah. Reaksi logisnya mereka melakukan segala bentuk tindakan untuk meminta keadilan lembaga negara dengan cara yang tidak terduga. Tentunya hal tersebut akan menimbulkan persoalan baru ditubuh Indonesia khususnya Sumatera Barat.
Lalu dengan cara apa persoalan LGBT bisa di selesaikan. Caranya yaitu melalui penataran agama kepada pelaku LGBT, yakni dengan menanamkan nilai-nilai keislaman kedalam jiwa mereka. Dengan begitu mereka dapat terlepas dari pengaruh indoktrinasi Humanisme.
Sumatera Barat yang dikenal sebagai daerah penghasil ulama nusantara dan masyarakatnya yang kokoh dalam menjaga nilai-nilai keislaman, tentu perkara ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah dalam menuntaskan persoalan LGBT. Dapatkah pemerintah menekan angka populasi LGBT di Sumatera Barat atau tidak?
Namun yang pasti menghilangkan wabah LGBT tidak menjadi tanggung jawab moral pemerintah maupun tokoh agama saja, melainkan juga menjadi tanggung jawab kita semua. Tanggung jawab masyarakat minang dalam mengembalikan nilai “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” di bumi Minang Kabau. (***)

Leave a Reply