DEMOKRASI itu mahal. Apalagi dengan sistem Pemilu Terbuka. Bukan hanya yang beda partai, dalam satu partai pun terjadi peperangan.
Saat pencalonan saja Caleg eks narapidana sudah harus keluar biaya. Eks Napi tertentu diwajibkan memasang pengumuman masa lalunya kenapa masuk penjara.
Setelah itu mereka memperebutkan kursi pada Dapilnya. Sebagai ilustrasi untuk terpilih menjadi salah seorang dari 580 anggota DPR RI harus bersaing dengan ribuan bahkan belasan ribu calon.
Pemilu legislatif tahun 2024 untuk memilih anggota parlemen pusat diperebutkan pada 84 Dapil. Itu artinya setiap Dapil hanya akan menghasilkan tidak lebih dari 12 orang legislatif.
Lalu berapa yang merebutkan 12 kursi itu ? Pemilu tahun 2024 tercatat diikuti 18 partai politik. Bila setiap Parpol mengirim 10 Caleg untuk berebut 12 kursi maka pada Dapil itu terdapat 180 calon. Jadi kemungkinan jadinya 1/180 kali.
Upaya menjadi satu diantara 180 calon itulah yang menimbulkan biaya tinggi. Berbagai cara dilakukan baik yang legal seperti branding dan sosialisasi sampai politik uang sebagai kegiatan ilegal Pemilu.
Kampanye Negatif
Sistem Pemilu demokrasi mengenal setidaknya dua macam kampanye. Salah satunya yang dilarang adalah Kampanye Hitam, menyerang calon dengan isu tanpa fakta, seperti surat kaleng dan sekarang akun palsu.
Berbeda dengan Kampanye Hitam yang ilegal itu, Kampanye Negatif adalah kegiatan legal dalam demokrasi, dengan menyajikan fakta atau track record Caleg.
Biasanya Kampanye Negatif mengungkap masa lalu Caleg yang buruk untuk kepentingan publik. Bagi pemilih cerdas kampanye seperti ini dibutuhkan untuk menentukan pilihan.
Namun tidak demikian bagi Caleg yang diungkap masa lalunya apalagi saat menjadi pejabat publik karena bisa mengurangi minat memilih.
Membayar Hacker Lakukan DDoS
Era digital, Kampanye Negatif dihadapkan pada hacker yang melakukan serangan DDoS. Kegiatan ini jelas melanggar Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) Jo. Pasal 18 ayat (1) UU Pers.
Serangan DDoS terhadap pers selain melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga melanggar UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi, Transaksi dan Elektronik (ITE).
Dugaan pasal UU ITE yang dilanggar cukup banyak antara lain Pasal 30 dengan ancaman antara 6 sampai 8 tahun. Bisa juga gunakan Pasal 33 yang ancamannya 10 tahun.
Bahkan bila media khususnya pers bisa membuktikan ada kerugian materiil akibat serangan DDoS itu bisa meminta diperberat dengan Pasal 36 UU ITE. Ancamannya pun naik menjadi 12 tahun penjara dan atau denda Rp 12 miliar.
SKB Implementasi UU ITE memungkinkan Pasal 36 menjadi pemberat terhadap pelanggan Pasal 27 hingga Pasal 34 sepanjang bisa dibuktikan ada kerugian yang nyata akibat peristiwa hukum itu.
Persoalan dan sekaligus menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana polisi siber kita menemukan tersangkanya agar bisa diproses hukum. (Kamsul Hasan merupakan Ahli Pers Dewan Pers Dan Ketua Bidang Kompetensi Wartawan PWI Pusat)
Jakarta, 12 Juli 2023