oleh: Silfia Hanani
Idul Adha, ada keisitimewaan simbolik yang dilakukan oleh umat Islam, ada sebuah “pembantain” yang merepresentasikan perjalanan religius manusia dengan Tuhannya dan berhubungan dengan relasi manusia sesamanya.
Religiusitas itu dialami demikian rupa oleh Nabi Ibrahim, kemudian menjadi sebuah tradisi ibadah sosial yang menjadi perekan antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Tuhan sangat indah meneguhkan hati manusia dalam menuntun kearah berpedaban. Jika lah, peristiwa kisah Ibrahim-Ismail ini tidak dikontruksi oleh Tuhan, tentu kita umat Islam tidak memiliki tradisi seindah tradisi di hari raya qurban ini, tradisi yang terintegritas antara religiusitas dengan solidaritas, penuh makna ditengah kesedihan disitu terselip kebahagian.
Berbeda dengan idul fitri, yang menggiring kita untuk bahagia dengan suka cita. Tapi, Idul Adha, kita digiring merenung deari kesedihan, kemudian kesedihan itu yang membangunkan kita untuk membahagiakan.
Itu diantara makna “pembantian” Penyemblihan sapi, kambing dan sejenisnya menjadi jembatan integritas dan solidaritas sosial yang mahadahsyat artinya. Darah yang mengalir dari pembantian itu, simbolik daripada pengorbanan yang luar biasa seraya mengisyaratkan kedamaian, supaya bumi tidak ditumpahi darah manusia. Penumpahan darah itu menyakitkan dan menyedihkan, cukup kita mengakhiri pertumpahan itu pada hewan Qurban, setitik pun jangan dinodai pada kemanusiaan.
Itulah mungkin hikmahnya Tuhan menukar Ismail dengan seekor kambing di altar pembantaian. Bukan sekedar, jika Ismail tetap terbantai berarti Tuhan merelakan pertumpahan darah manusia, tapi kenyataannya Tuhan menukarnya dengan sekor kambing.
Kekuatan makna, jangan menumpahkan darah manusia! Betapa kuatnya Tuhan melihatkan kepada manusia pelajaran kedamaian.
Lantas daging yang dibagikan merekapitulasi makna, kematangan manusia dalam berbudaya berperadaban dengan mendahulukan integritas sosial dan solidaritas sosial, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.
Menderita sama kita atasi bersama. Tuhan hendak menunjukkan kepada kita, kesejahteraan itu dibangun dengan kekuatan bersama, bukan atas dasar jatuh mentauhkan.
Daging itu simbolik solidaritas yang kuat, bukan sebagai simbol sekedar makan bersama, masak bersama. Rasa-rasa solidaritas itu kokoh kembali, karena ada tradisi yang merenewnya. Andaikan kita umat Islam tidak memiliki hari raya ini, tentu solidaitas kita semakin hari semakin tipis, kemudian diguras habis oleh pengaruh prilaku hedonis kita. ****