Oleh Shafra
Mahasiswa S3 Ilmu Syariah UIN Bukittinggi
Pernikahan beda agama di Indonesia bukanlah hal yang baru. Banyak pasangan yang memutuskan untuk menikah meski berasal dari latar belakang agama yang berbeda.
Fenomena ini semakin marak seiring dengan semakin terbukanya masyarakat terhadap perbedaan dan pluralitas. Di Indonesia, negara dengan keragaman agama, fenomena pernikahan beda agama menjadi topik kontroversial yang memicu perdebatan dari berbagai sudut pandang, baik itu sosial, hukum, maupun agama.
Dari sudut pandang agama, sebagian besar agama memiliki aturan yang jelas tentang pernikahan antar umat yang berbeda agama.
Dalam hukum Islam misalnya, pernikahan beda agama diatur dengan ketat. Islam secara eksplisit melarang seorang wanita Muslim untuk menikah dengan pria non-Muslim. Sebaliknya, pria Muslim diperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab.
Namun siapa yang dimaksud ahli kitab tersebut,terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan pendapat tersebut menambah kompleksitas dalam realitas sosial di Indonesia yang multiagama. Polemik itu berkisar pada penafsiran kata ahli kitab, musyrik, dan kafir.
Di Indonesia, masyarakat memiliki norma dan tradisi yang kuat terkait dengan pernikahan, yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama. Pernikahan beda agama dianggap melanggar norma sosial yang berlaku.
Pasangan yang menikah beda agama, dalam beberapa kasus, tidak direstui keluarga, komunitas dan lingkungan sekitar pasangan yang berujung pada isolasi sosial atau bahkan konflik terbuka.
Dalam kehidupan beragama juga muncul pertanyaan mengenai bagaimana pasangan akan menjalani kehidupan beragama mereka dan bagaimana anak-anak mereka akan dibesarkan dalam lingkungan yang beragam agama.
Namun bagi segelintir orang pernikahan beda agama tampak lumrah. Realitas ini menunjukkan bahwa pernikahan beda agama di Indonesia, meskipun menghadapi banyak tantangan, tetap menjadi pilihan bagi sebagian pasangan yang menghargai keberagaman dan memiliki pandangan terbuka terhadap pluralitas agama.
Realitas ini menunjukkan bahwa pernikahan beda agama di Indonesia secara hukum masih kontroversial. Umumnya, pasangan yang memilih untuk menikah beda agama mencatatkan pernikahannya di luar negeri.
Setelah itu, mereka mendaftarkan ulang pernikahan tersebut di Indonesia. Langkah ini diambil karena adanya kontradiksi antara Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Hal ini mencerminkan bahwa dalam sudut pandang hukum Indonesia, pernikahan beda agama masih menjadi problema.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat 1). Artinya, undang-undang ini tidak secara eksplisit mengakomodasi pernikahan beda agama.
Pernikahan beda agama sulit untuk diakui secara hukum jika tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan agama masing-masing pasangan. Sehingga menyulitkan pasangan untuk mencatatkan pernikahan mereka secara sah di Indonesia.
Untuk mengatasi hambatan ini, beberapa pasangan memilih untuk menikah di luar negeri di mana hukum yang mengatur pernikahan beda agama lebih fleksibel. Setelah kembali ke Indonesia, mereka bisa mengesahkan pernikahan tersebut di hadapan hukum Indonesia.
Kemudian UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang kemudian direvisi oleh UU No. 24 Tahun 2013, mengatur tentang pencatatan pernikahan, termasuk pernikahan beda agama. Pasal 35 undang-undang ini mengizinkan pencatatan pernikahan beda agama sepanjang ada izin dari pengadilan.
Hal ini memberikan celah hukum bagi pasangan beda agama untuk mengesahkan pernikahan mereka di Indonesia melalui jalur hukum.
Regulasi dalam UU Adminduk yang memungkinkan pencatatan pernikahan beda agama dengan izin pengadilan, memberikan peluang terjadinya pernikahan beda agama di Indonesia. Dengan adanya izin dari pengadilan, pasangan beda agama dapat mengajukan permohonan untuk mencatatkan pernikahan mereka di kantor pencatatan sipil.
Proses ini, meskipun tidak mudah, memberikan harapan bagi pasangan yang ingin menjalankan kehidupan rumah tangga di tanah air tanpa harus merasa terasing atau melanggar hukum.
Dengan demikian terlihat bahwa fenomena pernikahan beda agama di Indonesia mencerminkan kompleksitas dan dinamika dalam masyarakat yang plural dan beragam. Adanya kontradiksi antara Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Administrasi Kependudukan menciptakan tantangan sekaligus peluang bagi pasangan beda agama. Langkah-langkah seperti menikah di luar negeri dan mendaftarkan ulang pernikahan di Indonesia menjadi solusi yang umum diambil oleh pasangan-pasangan ini.
Atas dasar demikian, kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023.
SEMA ini memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama. Hakim dipandu untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
Sehingga mengurangi kemungkinan adanya keputusan yang berbeda-beda di berbagai pengadilan. Dengan demikian SEMA memberikan kepastian dan konsistensi penerapan hukum dalam menghadapi fenomena pernikahan beda agama yang kompleks di Indonesia. Ini merupakan pedoman tegas bagi para hakim untuk menolak permohonan pencatatan pernikahan beda agama. Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga konsistensi penerapan hukum dan menghindari interpretasi yang berbeda-beda di pengadilan.
Perkawinan yang dilatari perbedaan agama, tidak dapat diterima. Meskipun hal ini juga berarti penolakan terhadap pengakuan resmi pernikahan beda agama di Indonesia.
Dengan demikian, regulasi ini menambah lapisan tantangan bagi pasangan yang memilih jalur pernikahan lintas agama, tetapi juga menggarisbawahi perlunya dialog dan reformasi hukum yang lebih inklusif dan responsif terhadap realitas sosial yang terus berkembang. (***)