“Beriboe He Pagarroejong Berpapak Ke Djohore” : Pengaturan Hak Ulayat Di Talang Mamak

“Beriboe He Pagarroejong Berpapak Ke Djohore” : Pengaturan Hak Ulayat Di Talang Mamak

- in Feature, Headline
0

Oleh Andiko Sutan Mancaya

Bagian Kedua

Pengaturan Hak Ulayat Talang Mamak

Pada dasarnya, dalam wilayah adat Talang Mamak, tanah ulayat terbagi atas dua bentuk pengelolaan, dibawah Batin yaitu:

1. Tanah ulayat bebas, dimana tanah ulayat yang belum dilekati hak kelola keluarga-keluarga dalam komunitas Batin tersebut.

2. Tanah ulayat yang telah dilekati hak pengelolaan oleh keluarga-keluarga dalam Batin tersebut.

Kedua jenis Tanah Ulayat ini memiliki model pengaturan yang berbeda, dalam kewenangan yang dimiliki oleh Batin.

Tanah Ulayat Yang Belum Dilekati Hak

Pada prinsipnya, Hukum Adat Masyarakat Adat Talang Mamak, tidak membolehkan terjadinya perpindahan hak kepemilikan atas tanah ulayatnya kepada pihak lain diluar komunitasnya. Ketentuan ini tertuang dalam pepatah adat yang menyatakan:

“Guluk dak dimakan gadai, jual dimakan beli”

Guluk tidak dimakan gadai, pengertian bebasnya, tanah ulayat tersebut tidak bisa digadai. Dijual tidak dimakan beli, maksudnya, Tanah Ulayat itu tidak bisa dijual yang mengakibatkan perpindahan hak atas tanah ulayat tersebut kepada pihak ketiga.

Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan tanah ulayat tersebut melalui mekanisme adat berupa:

Mendulang berbunga emas,

beladang berbunga padi,

ke hutan berpancung alas.

Makna dari pepatah adat diatas adalah, pihak ketiga yang akan memanfaatkan tanah ulayat tersebut, mesti memberikan sejumlah manfaat, baik materi ataupun inmateri kepada Masyarakat Adat Talang Mamak yang memiliki ulayat tersebut. Bentuk dari manfaat materil dan inmateril dari pemanfaatan Tanah Ulayat akan disepakati dalam musawarah antara Masyarakat Talang Mamak pemilik hak dengan pihak ketiga yang akan memanfaatkan Tanah Ulayat tersebut.

Sesuai dengan perkembangan zaman, bentuk kongkrit implementasi dari “Mendulang berbunga emas, beladang berbunga padi, ke hutan berpancung alas ini terus berkembang. Pada awalnya, pemahaman sederhana yang kemudian diimplementasikan adalah pemberian sejumlah uang untuk ganti rugi tanam tumbuh, namun karena kebutuhan dan meningkatnya pengetahuan, maka implementasi hukum adat ini dapat berupa pembangunan untuk kebutuhan bersama atau pembukaan lapangan kerja untuk masyarakat adat tersebut serta banyak pilihan model lain dengan dasar prinsip keberlanjutan keberadaan jangka panjang Masyarakat Adat itu.

Ketentuan adat diatas, akan menimbulkan akibat hukum apabila pihak ketiga tidak memenuhinya, yang disebutkan dalam pepatah adat yaitu:

“Mengambik tak memintak, mencencang tidak bertanya, artinya salah pakai melulus salah ambik mengembalikan dan salah makan memuntahan”

Artinya, jika mengambil sesuatu dalam wilayah adat tersebut dengan tidak, maka pihak ketiga tersebut harus mengembalikan lagi semua yang telah diambilnya.

Leave a Reply