Tuntutan Masyarakat Hampa: HGU Berakhir

Tuntutan Masyarakat Hampa: HGU Berakhir

- in Headline, OPINI
0

                     Oleh: Adri Yanto                            Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Imam Bonjol Padang

Hak Guna Usaha merupakan suatu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara untuk usaha pertanian, perikanan atau peternakan. Umumnya di Indonesia dan khususnya di Sumatera Barat, banyak perusahaan yang berdiri dengan memanfaatkan lahan atau tanah untuk melangsungkan bisnis atau usaha.

Hadirnya sebuah perusahaan dan adanya izin serta rekomendasi dari pemerintah, tentu membawa kabar gembira bagi masyarakat. Karena ada peluang yang akan didapatkan, di samping masyarakat yang kekurangan ilmu dan alat dalam pengelolaannya.

Salah satunya terbuka lowongan pekerjaan, tentu semua harus sesuai dengan tujuan konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) berbunyi bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Namun semua ini berparadoks terhadap apa yang di ekspektasikan. Seperti kasus yang terjadi di Kabupaten Dharmasraya khususnya Nagari Alahan Nan Tigo dan Nagari Lubuk Besar. Kurang lebih 35 tahun perusahan PT. Tidar Kerinci Agung mengelola tanah rakyat.

Polemik sering terjadi, seperti hak pekerja yang tak terpenuhi. Sehingga membangkitkan amarah dari para masyarakat karena mereka merasa haknya di diskriminasi dan tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada. Mirisnya, pihak perusahaan memainkan politik kotornya. Dengan cara memanfaatkan para pemuka masyarakat yang bisa dikelabui dengan rupiah.

Sehingga muncul istilah para kelompok borjuis yang memanfaatkan para kelompok proletar yang tidak berdaya demi keuntungan yang hanya sampai tenggorokan, akan tetapi kerugian bagi masyarakat banyak. Seharusnya para pemuka yang diberikan amanah untuk memperjuangkan hak rakyat menjaga amanah itu dengan baik, bukan malah balik menindas.

Mulai tahun 1986, kurang lebih 35 tahun yang lalu PT. Tidar Kerinci Agung sudah bernaung di tanah masyarakat dalam menjalankan usahanya. Tepatnya pada tahun 2021, HGU mereka akan berakhir. Kurang lebih 7.000 warga Nagari Alahan Nan Tigo dan Nagari Lubuk Besar, Kabupaten Dharmasraya menolak perpanjangan HGU apabila tuntutan mereka tidak dikabulkan.

Masyarakat menuntut 40 % kebun plasma dari luas HGU yang ada. Tuntunan dan penolakan sudah pernah masyarakat sampaikan baik melalui demo atau mediasi dengan pemerintah bersama pihak perusahaan.

Jika mengacu pada pasal 40 ayat 1 huruf k Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional No 7 Tahun 2017 maka perusahaan berkewajiban untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling sedikit 20% dari luas tanah yang dimohon HGU untuk masyarakat sekitar atau plasma. Kemudian saat ini masyarakat menuntut 40%, akan tetapi belum ada keterangan dari pihak perusahaan.

Menurut hemat penulis jika masyarakat minta 40%, maka itu hal yang wajar saja. Karena dalam regulasi bisa kita pahami bahwa ada kata paling sedikit 20%. Maka boleh-boleh saja kalau seandainya masyarakat menuntut lebih dari 20% tersebut. Jika perusahaan tetap mau memperpanjang HGU. Namun pihak perusahaan masih teguh pendirian tehadap 20% tersebut, sehingga tidak menimbulkan titik temu.

Nah, timbullah pertanyaan apakah kita tetap menunggu keputusan dengan mengharapkan 40%? Jika bisa diakhiri mengapa harus diperpanjang, jika bisa 100% mengapa harus memilih 40%? Menurut hemat penulis berdasarkan regulasi yang ada, mengacu kepada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional No 7 Tahun 2017, jika perusahaan tidak memperpanjang atau memperbarui HGU maka bisa dihapus HGU tersebut.

Hal yang sama dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaatannya pada pasal 11 yang berbunyi; ”Apabila perjanjian penyerahan hak penguasaan dan atau hak milik untuk penguasaan dan pengelolaan tanah yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 berakhir, maka status penguasaan dan atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk semula.”

Terlepas dari penjabaran tersebut menimbulkan tafsir jamak atas status kembali ke semula, yaitu apakah ke status tanah negara atau tanah ulayat. Dengan merujuk pada UUPA, maka tanah-tanah tersebut menjadi berstatus tanah negara.

Sesuai dengan Perda No 16 Tahun 2008 maka tanah tersebut tanah ulayat dan dikelola oleh masyarakat adat untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Oleh karena itu, menurut penulis pemerintah kabupaten mempunyai daya operasional yang kuat dalam menjalankan misi-misi tersebut sesuai dengan mandat yang diberikan oleh rezim hukum otonomi daerah. Kemudian pengawalan dari pemerintahan nagari, niniak mamak, dan juga penghulu serta pemuda kedua nagari harus tetap dimasifkan. Jangan sampai terulang kembali pada jalan yang kelam selama 35 tahun yang silam.

Referensi: – https://www.topsatu.com/tuntutan-tak-dipenuhi-ribuan-warga-tolak-perpanjangan-hgu-kebun-sawit-pt-tka

Undang-Undang Dasar 1945
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional No 7 Tahun 2017 Tentang Pengaturan Dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha.

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaatannya. (**”)

Leave a Reply