bakaba.net, Tanah Datar — Indonesia saat sedang menghadapi tantangan berat dalam mempertahankan budaya sebagai jati diri bangsa.
Saat ini suka atau tidak suka kebudayaan dari luar melalui medsos dan media konvensional tidak bisa dibendung.
Generasi muda yang miskin pengetahuan budaya-nya akan anggap budaya sendiri itu kuno dan ketinggalan jaman sehingga tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian.
Untuk itu nilai-nilai luhur budaya bangsa harus terus ditanamkan kepada generasi muda. Dengan demikian dapat menjadi pondasi kuat dalam menghadapi kuatnya arus dan pengaruh budaya luar yang dirasa tidak sesuai, serta dapat mencerabut jati diri bangsa.
Berbicara budaya tentunya tidak bisa setenggah-setenggah, harus total agar dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Tanah Datar sebagai pusat budaya Minangkabau tentunya memiliki ratusan dan mungkin ribuan budaya baik itu benda maupun nilai budaya yang mungkin sudah lama tidak pernah terangkat kepermukaan.
Tidaklah mudah menginvesntaris budaya yang pernah tumbuh dan hidup ditengah-tengah masyarakat Minangkabau khususnya Tanah Datar.
Tetapi pasangan Bupati Eka Putra dan Wakil Bupati Richi Aprian punya cara tersendiri dalam pengalian budaya lansung ke akarnya.
Sejak setahun yang lalu pasangan bupati dengan timline “Era Baru” itu melakukan pengalian budaya melalui festival yang lebih dikenal satu nagari satu ivent.
Masing-masing nagari dalam program itu dituntut untuk menampilkan budaya yang pernah tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Ide-ide kreatif dari tiap-tiap nagari ternyata dapat menjawab tantangan itu.
Sebut saja festival di Pandai Sikek yang menampilkan seribu songket, seperti kita tahu songket Pandai Sikek itu tidak hanyak sekedar kain, tetapi dalam motof-motif itu terkandung nilai-nilai luhur yang bila kita abai tentu akan tergerus jaman.
Begitu juga kuliner, berbagai macam kuliner tempo dulu itu juga sengaja dihadirkan dalam festival-festival yang digelar tiap-tiap nagari.
Lalu apakah setelah festival berakhir, budaya yang sudah digali kembali dilupakan dan tidak menjadikan pakaian sehari-hari agar kembali tumbuh dan hidup ditengah masyarakat.
Bupati Eka Putra, ketika ditanya mau dibawah kemana budaya yang berhasil dimunculkan itu, ia mengatakan akan melakukan pendataan budaya-budaya disetiap nagari, sehingga menjadi kekayaan nagari masing-masing.
Ia ternyata punya mimpi untuk menjadikan masing-masing nagari sebagai pusat kebudayaan yang nantinya akan menjadi daya tarik wisatawan mancanegara untuk menghabiskan waktunya di Tanah Datar, bukan lagi sekedar berkunjung.
Tetapi yang lebih penting dalam satu nagari satu ivent itu memperkenalkan budaya lokal pada sedini mungkin pada generasi muda
“Anak-anak muda perlu dikenalkan kepada budaya-budaya lokal, sehingga tidak tercerabut identitasnya, identitas budayanya, sosialnya. Hal ini sangat penting,” katanya.
Era globalisasi menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi Tanah Datar sebagai pusat budaya. Dimana, segala norma dan etika yang menjadi kekuatan, tidak tergerus dengan kemajuan zaman. Justru sebaliknya, dapat tetap hidup ditengah arus global.
“Yang paling penting, agar dalam permainan global, nilai-nilai budaya lokalnya tidak tercerabut,” tandasnya.
Dia mengatakan melestarikan seni dan budaya merupakan salah satu upaya untuk menjaga kesatuan bangsa. Dimana salah satu ciri terjadinya perang kebudayaan adalah munculnya upaya masif untuk menghilangkan keyakinan atau ideologi sebuah bangsa.
“Melalui festival-festival, kita sungguh amat berharap agar nilai-nilai luhur budaya itu, terus terjaga,” tutupnya. (***)