Oleh Destia Sastra
Malayapura Heritage Film Festival MAHEFF) 2025 baru saja ditutup, Sabtu (26/07) di pentas utama lapangan Cindua Mato Batusangkar.
Rangkaian kegiatan MAHEFF yang dipusatkan di Tanah Datar sebuah upaya dari untuk melindungi, melestarikan dan memanfaatkan warisan budaya untuk kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan.
Kegiatan MAHEFF itu sendiri merupakan sebuah festival film yang berfokus pada pelestarian budaya dan sejarah, khususnya di Sumatera Barat.
Festival itu menggunakan film sebagai medium untuk merayakan dan memperkenalkan kekayaan warisan budaya, termasuk Cagar Budaya (CB) dan Objek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB).
Barangkali tidaklah berlebihan menyebutkan bahwa melalui kegiatan MAHEFF kemaren sebuah upaya pelestarian kebudayaan dari Tanah Datar untuk Dunia.
Bagaimana tidak, sebut saja film pendek “Pabaruak” yang berdurasi 13.51 detik. Film ini menceritakan sebuah kearifan lokal masyarakat pesisir Sumatera Barat yang dikenal dengan pabaruak (pemilik kera untuk mengambil kelapa) yang diwarisi secara turun-temurun.
Namun dalam film ini Pabaruak bukan dikisahkan didaerah pesisir (daerah darat di tepi laut), melainkan di daerah darek (sebutan untuk daerah minang yang terletak di dataran tinggi) yaitu Batusangkar.
Dalam film itu menceritakan seoarang anak yang tidak senang melihat ayahnya yang bekerja menjadi seorang pabaruk karena sering diejek oleh teman-temanya. Dan ayahnya juga merupakan seorang korban PHK secara sepihak akibat pandemi Covid-19.
Penulis Film Pabaruak, Dafriansyah Putra yang juga Direktur MAHEFF 2025 mengatakan, melalui film Pabaruak ia berusaha mengangkat budaya yang ada di Sumatera Barat. Pada daerah lain yang memanjat kelapa itu adalah orang, namun di Sumatera Barat itu adalah hewan.
Film ini memperoleh berbagai penghargaan dan sudah ditonton banyak orang setelah diproduksi tahun 2023 lalu.
Lalu ada film “Perempuan Berlumur film pendek yang diproduksi oleh Malayapura Films bekerja sama dengan Indonesiana TV ini mengangkat kisah sejarah, adat, dan budaya, dengan latar belakang Nagari Gurun, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Film yang menceritakan tentang seorang perempuan Minangkabau yang ingin mencoba menjadi joki dalam pacu jawi, profesi joki itu sendiri hanya dilakoni oleh seorang laki-laki, jika perempuan yang melakukannya maka akan terlihat sumbang ditengah-tengah masyarakat.
Sumbang itu sendiri tindakan yang kurang sopan, tidak sesuai dengan norma adat, dan bisa menimbulkan rasa malu atau ketidaknyamanan bagi orang lain. Dan itu termasuk dalam sumbang 12.
Sumbang 12 adalah konsep dalam budaya Minangkabau yang merujuk pada dua belas perilaku atau sikap yang dianggap tidak pantas atau sumbang, terutama bagi perempuan.
Seorang perempuan di Minangkabau tempatnya sangatlah terhormat, kehidupannya telah dijamin dengan harta pusaka, tanpa harus berlumur lumpur.
Perempuan memiliki peran sentral dalam Rumah Gadang dan masyarakat Minangkabau secara keseluruhan.
Mereka adalah penjaga rumah, pewaris harta pusaka, dan simbol bagi kaumnya. Peran mereka tidak hanya terbatas pada urusan domestik, tetapi juga mencakup aspek sosial dan ekonomi yang luas.
Lalu film Nan Tajalajah, menceritakan dua orang pemuda memperkenalkan tentang cagar budaya yang dimulai dari Nagari Tuo Pariangan hingga puncak Bukit Marapalam tempat tercetusnya Adaik basandi syara basandi kitabullah atau lebih ABS SBK.
Saat memproduksi film-film pendek yang diikutkan terlihat para penulis naskah mencoba membuat alur cerita yang sesuai dengan kondisi saat ini dan disajikan dengan dialog sederhana sehingga gampang untuk dimengerti.
Dan MAHEFF 2025 merupakan cikal bakal dari film-film pendek lainnya yang bertema kebudayaan dan dapat diproduksi oleh siapapun.
Hanya berbekal sebuah Handphone dan aplikasi untuk mengedit maka akan lahirnya puluhan, mungkin ratusan film bertema budaya.
Untuk pelestarian kebudayaan ini tentu butuh komitmen dari pemerintah dari Pemerintah Daerah maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (***)