BAKABA | Bangun Karakter Bangsa

Refleksi 80 Tahun Sumatera Barat: Menjaga Akal Sehat, Merawat Pikiran, dan Menghidupkan Restorasi

Padang, bakaba.net — Dalam momentum bersejarah Refleksi 80 Tahun Sumatera Barat, tokoh-tokoh cendekia, perantau, dan pejabat publik berkumpul menelusuri kembali jejak panjang Sumatera Barat sebagai pusat peradaban, pemikiran, dan kebangsaan Indonesia.

Acara ini menghadirkan Khairul Jasmi, wartawan senior sekaligus sejarawan; Willy Aditya, Anggota DPR RI Fraksi NasDem yang juga perantau asal Minang; serta Medi Iswandi, Asisten III Pemprov Sumbar.
Turut hadir pula sejumlah tokoh penting, di antaranya Ir. M. Shadiq Pasadigoe, S.H., M.M. (Anggota DPR RI Fraksi NasDem), Cindy Monika Salsabila (Anggota DPR RI), Fadly Amran (Wali Kota Padang), H. Maigus Nashir (Wakil Wali Kota Padang), H. Risnaldi (Wakil Bupati Pesisir Selatan), serta pimpinan DPRD Sumbar seperti Nanda Satria, Selamat Simabura, dan Ilson Chong.

Acara reflektif ini menjadi ruang berpikir bersama untuk membaca ulang masa lalu, menggali akar nilai Minangkabau, serta merumuskan arah masa depan Sumatera Barat dalam bingkai kebangsaan dan kemanusiaan.

Minangkabau: Rahim Gagasan dan Peradaban

Delapan puluh tahun perjalanan Sumatera Barat bukan sekadar catatan administratif, melainkan mosaik sejarah yang sarat makna. Dari tanah Minangkabau telah lahir gagasan besar, pemimpin bangsa, dan pemikir dunia.
Sejarah mencatat, Sumatera Barat bukan hanya wilayah geografis, tetapi rahim gagasan kebangsaan — tempat bertemunya Islam, adat, dan intelektualitas.

Dalam kesempatan itu, Willy Aditya menyampaikan pernyataan reflektif yang menggugah:

“Kalau tidak ada orang Minang, tidak ada Indonesia.”

Ungkapan tersebut menggambarkan kesadaran historis akan besarnya kontribusi intelektual Minangkabau terhadap berdirinya Republik Indonesia. Dari masa pergerakan hingga era modern, gagasan anak Minang menjadi denyut nadi kemerdekaan dan kemajuan bangsa.

Jejak Intelektual Minangkabau

Sejak awal abad ke-20, Tanah Minang dikenal sebagai epistemic community — komunitas pemikiran yang menempatkan akal sebagai panglima. Dari surau tradisional hingga sekolah modern, lahirlah cendekiawan dan pemimpin pembaharu.

Nama-nama besar seperti Haji Agus Salim, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, hingga Buya Hamka menjadi bukti bahwa Minangkabau adalah tanah ide dan intelektualitas.
Mereka adalah manusia idea — yang dengan pena dan pikirannya menembus batas ruang dan zaman.

Tan Malaka dalam Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) menulis:

“Pikiran adalah senjata yang paling tajam.”

Ungkapan itu menjadi fondasi bagi masyarakat Minang untuk terus berpikir kritis, rasional, dan berani berbeda.

Menurut Willy Aditya, Restorasi bukan slogan politik, tetapi ikhtiar mengembalikan kejernihan berpikir dan moral bangsa — nilai-nilai yang sejatinya telah lama hidup dalam tradisi intelektual Minangkabau.

Cemeeh: Dialektika Budaya dan Akal Sehat

Salah satu refleksi budaya menarik dari Willy Aditya adalah konsep cemeeh — budaya ledekan khas masyarakat Minangkabau.

“Cemeeh bukan sekadar ejekan,” ujar Willy, “tetapi mekanisme sosial yang merawat akal sehat. Dengan cemeeh, masyarakat Minang terbiasa berpikir kritis, tahan banting, dan tidak mudah baper.”

Bahkan, ia menyarankan agar budaya cemeeh dijaga dan dikembangkan sebagai bagian dari identitas intelektual.

“Rawatlah cemeeh dengan baik, kapan perlu adakan lomba cemeeh,” ujarnya disambut tawa hadirin.

Dalam kacamata antropologi budaya, cemeeh adalah kritik sosial egaliter — alat masyarakat untuk menyaring perilaku kekuasaan, mengontrol arogansi, serta menumbuhkan kepekaan sosial dan intelektual.
Budaya ini melatih popular rationality (rasionalitas rakyat) yang cerdas, spontan, dan tajam dalam logika.

Paradoks Persatuan Orang Minang

Willy Aditya juga menegaskan bahwa “tidak ada resep monolitik untuk menyatukan orang Minang.”
Masyarakat Minangkabau, menurutnya, memiliki karakter dinamis dan egaliter — tidak dapat dipersatukan oleh faktor ekonomi atau politik semata, melainkan oleh nilai, pikiran, dan budaya.

Pernyataan ini sejalan dengan teori pluralisme sosial-budaya Clifford Geertz, bahwa masyarakat berkarakter kompleks tidak dapat diseragamkan, tetapi harus dikelola dalam keragaman nilai.

Nilai adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah menjadi simpul pemersatu yang meneguhkan jati diri.
Inilah kekuatan demokrasi kultural Minangkabau: kebebasan berpikir dan berdebat yang dijalankan dengan sopan, beradab, dan penuh rasa hormat.
Dari sinilah tumbuh intellectual resilience — ketahanan berpikir dan moral yang menjadi modal sosial utama masyarakat Minangkabau.

Menatap Masa Depan: Restorasi Pikiran dan Moral

Perjalanan 80 tahun Sumatera Barat menunjukkan bahwa kejayaan tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari perjuangan ide dan kesadaran moral.
Generasi Minangkabau masa kini diharapkan meneladani semangat Tan Malaka yang berpikir lintas zaman, Hatta yang teguh dalam integritas, dan Buya Hamka yang memadukan iman dengan akal.

Konsep Restorasi yang diusung Partai NasDem, menurut Willy, sejalan dengan nilai dasar Minangkabau — yakni upaya menghidupkan kembali daya pikir, memulihkan nalar sehat, dan membangun moralitas publik.

“Dalam dunia yang semakin bising dan terpolarisasi, Sumatera Barat harus kembali menjadi laboratorium akal sehat dan kemanusiaan,” tutup Willy Aditya.

Penutup

Refleksi 80 Tahun Sumatera Barat bukan sekadar perayaan administratif, tetapi perenungan eksistensial tentang jati diri dan peran kebudayaan dalam membangun bangsa.
Sebagaimana pesan Tan Malaka:

“Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.”

Kebesaran Sumatera Barat akan terus hidup selama akal, iman, dan budaya berjalan seiring dalam satu langkah kemajuan.

Exit mobile version