Nasib Pengampiang dan Ampiangnya

Nasib Pengampiang dan Ampiangnya

- in Feature, Headline
0

Oleh Muhammad Fadhil

Ladang Laweh Nagari Batipuah Baruah, Kecamatan Batipuah, Tanah Datar,  merupakan salah satu jorong penghasil ampiang.

Makan khas Minangkabau ini terbuat dari padi pulut yang di tumbuk-tumbuk di dalam lasuang (wadah) dengan menggunakan alu (tongkat kayu). Tumbukan tersebut tidak sampai hancur, hanya berubah bentuk dari bulir menjadi pipih.

Emping atau ampiang merupakan makanan khas warisan leluhur yang masih di jaga kelestariannya oleh masyarakat Ladang Laweh. Hal tersebut terbukti setiap bulan lebih kurang 30.000 liter dari 23 pondok produksi ampiang di Ladang Laweh terserap oleh pasar, baik pasar-pasar yang berada di Tanah Datar maupun di luar dari Tanah Datar.

Namun sayang, ampiang tidak senasib dengan rendang yang di nobatkan CNN Travel sebagai makanan terenak number one di dunia. Layaknya selebritis papan atas, rendang kerap kali mendapat pujian dari para penikmatnya. Sementara ampiang selalu luput dari incaran lidah para wisatawan kuliner.

Padahal teori sangat kesulitan menjelaskan bagaimana cara mengukur rasa pada suatu makanan. Rendang dan ampiang sama-sama enak di lidah para penikmatnya, hanya saja rendang mendapat penggemar lebih banyak akibat promosi yang terstruktur, masif dan sistematis oleh pemerintah. Hingga rendang bisa melangit sementara ampiang masih saja membumi.

Ketidak populeran ampiang ternyata berimplikasi pada ekonomi pengampiang (Pembuat emping). Semakin tidak populernya ampiang berakibat semakin sedikit pula jumlah pembeli yang ujung-ujungnya berdampak pada rendahnya pendapatan pengampiang.

Secara ekonomi pendapatan pengampiang tidak sebanding dengan besarnya tenaga yang mereka keluarkan. Dalam sebulan saja pengampiang hanya meraih penghasilan bersih rata-rata 1,5 jt rupiah dengan kerja selama 12 jam, di mulai pukul 9 malam sampai dengan pukul 9 pagi.

Belum lagi resiko penyakit yang akan mereka tanggung dengan terus menerus bergadang selama proses pembuatan ampiang.

Ibu Tati Warni contohnya, beliau sudah 37 tahun bekerja sebagai pengampiang, tetapi hasil penjualan ampiang belum bisa mendongkrak ekonominya.

Ketika saya bertanya mengapa masih mau mengampiang, sementara hasil jual ampiang tidak signifikan mendongkrak ekonomi. Perempuan parubaya berusia 52 tahun itu menjawab, di Kabupaten Tanah Datar hanya Nagari Batipuah Baruah saja yang memproduksi ampiang nak, Kalau kita tidak mangampiang, kedepan ampiang akan hilang. Sementara kita tau kalau ampiang warisan lelehur yang perlu kita jaga. Untuk menutupi kebutuhan ekonomi, amak (Ibu) tidak hanya bekerja sebagai pengampiang tetapi juga kesawah (Petani). Karena hasil ampiang saja tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Ketua kelopompok ampiang Ladang sekaligus mantan Walijorong Laweh Wisrizal Dt. Lelo Sutan pada tahun 2016 pernah berupaya menjadikan ampiang sebagai bahan baku olahan pembuatan kue melalui program pembinaan kelompok. Namun program tersebut tidak berjalan karena terbatasnya anggaran dan kurangnya perhatian dari pemerintah.

Beliau berharap kepada pemerintah Tanah Datar untuk menaruh perhatian khusus kepada ampiang. Karena tanpa di pungkiri bila ampiang dapat di olah menjadi beraneka macam bentuk makanan, hal tersebut otomatis akan mendongkrak perekonomian masyarkat serta menjaga kelestarian ampiang itu sendiri. (***)

Leave a Reply