Benarkah Tonggak Tuo Demokrasi di Minangkabau Sudah Rapuh? (1)

Benarkah Tonggak Tuo Demokrasi di Minangkabau Sudah Rapuh? (1)

- in BUDAYA, Headline
0
LAMBANG DEMOKRASI—Rumah Gadang di Ranah Minang dulunya sebagai lambang demokrasi, apakah sekarang rumah kebanggaan itu masih dapat dipertahankan atau juga telah mengalami pergeseran.(Bakaba/Wirmas Darwis)

Oleh : Nurmatias

PROLOG
Masyarakat Minangkabau yang dulu sebagai penjunjung sistem yang egaliter dan demokrasi masihkah kelihatan sekarang ini?. Masihkah bulek aie dek pambuluh, bulek kato jo mufakek (Bulat air kerena saluran bamboo dan Bulat kata karena mufakat) masih identik dengan kondisi Minangkabau kekinian, Rumah gadang sebagai simbol kebesaran demokrasi Minangkabau masih kelihatan karismanya atau benar kata Von Benda Beckmann Tonggak demokrasi di Minangkabau sudah rapuh dan hampir hancur.
Masih relevan idiom kamanakan baraja ka mamak, mamak baraja ka panghulu, panghulu baraja ka mufakaik, Mufakaik baraja ka nan bana, Nan bana baraja ka nan Ciek, Nan ciek badiri sandiri. Kata baraja dalam arti yang sebenarnya adalah belajar bukan beraja yang selama ini melekat di benak kita, karena kata baraja ini masih kita pergunakan dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat Minangkabau.
Banyak lagi kearifan lokal yang mengungkapkan kata-kata mufakat. Menilik pendapat tokoh Belanda yang Wrapen yang beristrikan Icih (wanita Sunda) hidup pada tahun 1885-1945 berpendapat Orang Indonesia itu otokrasi dan kehidupannya hanya politik semu serta mengabaikan hal subtansinya. Hegemoni budaya hanya dipertentangkan dalam wacana segelintir masyarakatnya tapi kemudian segelintir ini memblokup melalui media massa sehingga akar permasalahan tidak lagi menjadi subtansi wacana berpikir.
Akibat kondisi ini panca indra yang paling dominan berkembang adalah telinga dan panca indra yang lain tidak berkembang secara baik. Informasi yang datang tidak dicerna dengan baik tetapi ini dipolemikkan secara langsung tanpa ada suatu penyelesaian yang diurai secara logika berpikir positif dan tuntas. Setiap permasalahan yang timbul diselesaikan dengan masalah baru sehingga benang kusut yang terjadi tidak terurai dengan baik.
Budaya ini tercermin terinterpestasikan kedalam wilayah Kebudayaan Minangkabau yang terdiri dari daratan dan lautan lebih luas dari kondisi saat ini. Wilayah yang ada sudah terbagi berdasarkan wilayah administrasi yang ada seperti sebagian Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Utara dan Bengkulu.
Wilayah daratan terdiri dari bukit, gunung yang subur dan daerah rendah (pantai), Luas daerah Minangkabau sekarang ini 41.297.30 km 2 . Semasa Penjajahan Belanda berstatus sebagai residen Sumatra Westkust.
Dalam Tradisi Lisan/ Tambo disebutkan batas-batas Minangkabau “ Sikilang Aie Bangih, Durian ditakuak Rajo, Di ombak yang badabuih dan Sipisak aie hitam. Setelah kita telusuri daerah tersebut tidak semuanya diketahui secara pasti baik dari kajian arkeologis, sejarah dan toponomi. Atau karena batas-batas ini hanya disampaikan dalam tambo tidak dijelaskan dengan rinci.
Minangkabau memang sangat unik untuk dikaji dan diteliti, banyak penelitian dan kajian yang dilakukan oleh para ahli. baik peneliti asing maupun meneliti lokal (Orang Minangkabau maupun luar Minangkabau). Setiap tema dan topik kajiannya melahirkan suatu karya yang maha agung,menarik untuk dibaca dan dianalisa.
Budaya dan sejarah Minangkabau memang mempunyai sisi yang menarik untuk dikaji dan teliti. Budaya matrilinealnya yang sangat mengasyikan untuk ditulis (Beckmann : 2000: XXVI) . Budaya matrilineal yang ada merupakan simbol inspirasi bagi penulis untuk mengkaji Minangkabau. Paradoks antara matrilineal yang dipandang dari sisi budaya dan patrilineal disisi agama mencerminkan suatu usaha survival masyarakat Minangkabau mengakomodir arus globalisasi masa itu.
Kita mengenal Idiom yang sangat popular dan menjadi falsafah hidup masyarakat Minangkabau untuk mengakomodir kedua pendekatan matrilineal dan patrilineal yaitu Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandikan Kitabullah dalam tradisi lisan Minangkabau. Dengan terjadinya simbiosis mutualisme antara system matrilineal dan system patrilineal membuat banyak peneliti yang ini mengkaji dan menganalisa kebudayaan Minangkabau.
Pendekatan-pendekatan yang mereka lakukan belum tentu melihat akar budaya Minangkabau secara utuh karena adat salingka nagari yang menjadi patron dalam budaya Minangkabau di masing-masing nagari berbeda-beda. Waktu dan koresponden yang mereka lakukan mungkin belum utuh untuk menjawab semua permasalahan yang ada dalam penelitian mereka.
Merujuk pendapat Van Leur bahwa penelitian yang dilakukan peneliti asing baru memakai penglihatan dari geladak kapal yang lebih popular disebut pengamatan mata kucing (cat eye) bukan bird eye (mata burung). Kedua pengamatan tersebut mempunyai implikasi yang berbeda dalam melihat dan menafsirkan sesuatu.
Para peneliti yang pernah menulis tentang budaya dan sejarah Minangkabau antara lain Tanner, 1972; Khan 1975; Oki, 1977; Kahin, 1979; De Jong 1980; Graves, 1981; Ambler, 1988, Dobbin, 1992; Scrieke 1995; Drakard, 1999, Beckmann, 2002, Kato, 2005 dan lain-lainnya.
Medan Nan Pananeh
Suku bangsa lain melihat dinamika berpikir berdemokrasi masyarakat Minangkabau sangat mengkedepan logika dan dibumbui oleh sistem keterbukaan serta menghargai perbedaan. Kondisi ini tidak tercermin dalam masyarakat saat ini. Zaman prasejarah media berdemokrasi di tataran adat Minangkabau menggunakan medan nan bapaneh sebagai simbol demokrasinya, kemudian zaman berikutnya dikenal dengan Balerong sari atau rumah gadang.
Meskipun tempatnya tidak presentatif tetapi keputusan yang diambil tetap mencerminkan kepentingan masyarakat. Bentuk sarana demokrasi yang sangat sederhana tetapi menghasilkan suatu keputusan yang brilian dan elegan. Banyak medan nan bapaneh yang kita temui dan menjadi situs purbakala yang bisa mewakili kerangka berpikir dan bertindak masyarakat zaman dahulu.
Seiring perubahan waktu dan perubahan fungsi medan nan bapaneh saat ini hanya tempat seremonial dan tempat berkumpulnya masyarakat tanpa ada wadah berdemokrasi. Medan nan bapaneh saat ini tempat orang memamparkan ide waktu kampanye atau tempat berkumpulnya masyarakat dalam kegiatan tertentu misalnya acara randai atau bentuk kesenian lainnya. Fungsi ideal medan nan bapaneh tidak lagi sebagai tempat berdiskusi, bertukar pikiran dan kemudian menghasilkan sebuah keputusan bersama tapi hanya sebatas monument demokrasi yang pernah hidup ditengah masyarakat Minangkabau.
Dalam peninggalan sejarah demokrasi di Minangkabau, kita banyak menjumpai situs Medan nan Bapaneh di seluruh antero Minangkabau. Saat ini medan nan bapaneh ini banyak kita temui di Kabupaten Tanah Datar, Agam dan 50 Koto. Bentuk medan nan bapaneh sangat sederhana yaitu suatu kombinasi antara areal diskusi yang cirikan dari batu-batu kali yang disusun untuk seperti meja dan kursi.
Masing-masing pemimpin dalam kaum akan duduk atau menempati susun batu sebagai perwakilan dari kaum atau sukunya. Perwakilan suara dari masyarakat sudah diberikan kepercayaan mutlak dan konstituennya mempercayainya. Sistem perwakilan yang terjadi bukan berdasarkan kedekatan, pertalian darah, pangkat dan kedudukan tetapi berdasarkan kriteria yang sudah diamati dari kecil. Bentuk kriteria-kriteria itu bisa kita lihat dari tutur kata, etika, intelektual dan filantropi (kedermawanan sosial) dari masing-masing individu yang mewakili kelompok atau golongannya. Bukan kekayaan, jabatan dan gelar akademik yang menjadi rujukan dalam menentukan perwakilan di medan nan bapaneh.
Para konstituennya percaya dengan sifat dari perwakilan mereka sehingga keterwakilan tidak mempunyai cacat dalam setiap mewakili aspirasi kaum atau sukunya. Sekarang kita lihat perwakilan masyarakat sudah memiliki jabatan yang tinggi, kekayaan yang berlimpah ruah dan pendidikan akademis yang paripurna tetapi karisma dan wibawanya tidak kelihatan.
Dalam catatan sejarah yang didapatkan hasil sebuah keputusan tidak melalui voting atau pengumpulan jumlah suara dan gaya ini tidak dikenal dalam demokrasi Minangkabau. Sejak kapan voting ini menjadi sarana pengumpulan suara, baru kita kenal dalam demokrasi kita dua dekade terakhir ini.
Siapa yang mengadopsi tidak diketahui secara pasti, yang jelas ini sudah menjadi instrument penting dalam demokrasi Minangkabau. Hegemoni demokrasi asing sudah meruntuhkan sistem demokrasi masyarakat Minangkabau, Masyarakat tidak tahu bahwa bentuk demokrasi yang agung-agungkan oleh dunia luar hanya mengerdilkan atau menghancurkan budaya kita sendiri dan itu tujuan yang diharapkan oleh sistem demokrasi asing.
Pada hakekatnya sistem demokrasi Minangkabau jelas sesuai dengan akar budaya kita, bukan titipan atau adopsi dari luar yang masih perlu ditempa oleh kondisi zaman. Berdasarkan fakta sejarah demokrasi dengan sarana mufakat dan argumentasi masing individu kemudian dibalut dengan silahturahmi akhirnya keputusan itu diambil juga. Bukan lobi-lobi politik yang berujung pada permainan uang, politik dan berbagi jabatan. Bentuk ini tidak dikenal dalam tatan ideal demokrasi Minangkabau. Hanya akan membuat gap diantara kita makin kelihatan, karena ada agenda tersembunyi dari masing-masing orang dalam menggarap konstituennya.(Bersambung)

Leave a Reply