Tragedi Ade Armando Dalam Bingkai Kausalitas Sosiologi

Tragedi Ade Armando Dalam Bingkai Kausalitas Sosiologi

- in Headline, OPINI
0

Oleh Luzian Pratama

Apa yang bisa kita mengerti dengan kata korban? Ibrahim dalam term ajaran Islam pernah diperintahkan Tuhan untuk menyembelih anaknya yang berusia tengah menanjak dewasa. Namun apakah Ismail sebagai korban?.

Di suatu masa, jauh sebelum zaman kita, seorang raja Hindu diperintahkan pula membunuh dan menyembelih seekor kuda untuk sang dewa. Apakah kejadian itu menghasilkan korban?.

Ya, korban dalam objek pengertian lain, kedua kejadian itu merupakan pengorbanan yang menghasilkan korban. Ismail adalah korban ketaatan ayahnya. Di sisi lain, sama halnya dengan Ibrahim, pun demikian dengan raja Hindu.

Memang dalam berbagai proses kehidupan, manusia selalu membutuhkan korban untuk banyak hal yang ingin terwujud. Dan sudah sebagai tabiaat pula manusia selalu mencari apa dan siapa yang harus dikorbankan.

Tapi jika diajukan sebuah pertanyaan, tidak akan ada manusia yang mau merelekan dirinya menjadi korban. Selain karena menyakitkan, juga karena kata korban menyandang konotasi buruk. Korban amukan massa, korban tabrak lari, korban penembakan, korban perasaan, dan berbagai korban-korban yang lain, yang sifatnya selalu menjadi penderita akibat sesuatu.

Jika Ibrahim dan raja Hindu menghasilkan korban karena urusan langit yang dipenuhi dengan nilai-nilai transendental, lain pula dengan tragedi pada Senin 11 April kemaren. Aksi yang membuat dosen Universitas Indonesia sekaligus pegiat media sosial, Ade Armando terluka tentu jauh dari nilai moral.

Apalagi, horor pada hari itu sangat bertolak belakang dari aksi ritual transendensi. Tidak hanya soal pemukulan, juga soal menelanjanginya yang saya kira Tuhan sama sekali tak menyukainya.

Namun pada saat yang sama sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah, seseorang terluka, wajahnya mengucurkan darah, seolah sebagai hasil perintah yang maha kuasa. Bagaimana tidak, dibalik Ade Armando yang tengah dihampiri malang, di berbagai lini media sosial berseliuran riuh komentar tepuk tangan kemenangan.

Jika ketikan itu bersuara, aplaus itu tentu akan menggema kepada yang melakukan tindakan. Beberapa komentar saya baca, perlakuan itu disebutkan sebagai tindakan keadilan. Ya, mungkin barangkali keadilan adalah kemarahan jalanan yang mencari orang untuk dikorbankan. Ataukah keadilan adalah kebencian yang menginginkan jasad bergelimang darah.

Kausalitas dalam Argumentasi Sosiologi

Suatu tindakan, dalam narasi bapak sosiologi Max Weber melempar batu ke sungai bukanlah suatu tindakan sosial, tapi jika batu menuai respon pemancing di sungai barulah disebut sebagai tindakan sosial. Analogi ini sedikit hampir sejalan dengan apa yang telah menimpa Ade Armando. Kerap Ade sang dosen UI dan pegiat media sosial itu bermain dengan “batu kecil” dan melemparnya ke sungai, riak yang dihasilkannya kecil, para pemancing tak terlalu ambil hati.

Sejenak saya mencoba memungut kembali “batu-batu kecil” yang dilempar Ade Armando, 25 Januari 2017 lewat unggahan Facebook Ade Armando menuliskan Allah bukan orang Arab, November 2019 sebuah meme joker Gubernur DKI dilayangkan Ade ke ruang publik, LGBT tidak diharamkan dalam Islam, soal azan yang tak suci, perintah salat yan tidak ada di dalam Alqran dan beberapa hal lain yang terus-menerus menimbulkan riak di ruang publik.

Riak-riak itu mungkin saja disadari, sebab sebagaimana seorang perokok yang hampir setiap saat membaca bahayanya, namun tetap menyalakan tembakau berbalut kertas itu tanpa ada rasa bahaya. Bahwa rokok bahaya dan dia konsisten akan bahaya itu karena menurut pendapatnya benar berdasarkan yang lain. Namun yang perlu dimengerti bahwa hakikat pada tindakan ada keterlibatan perasaan dan nalar yang mempertimbangkan.

“Batu-batu” kecil Ade Armando itu tampaknya memiliki keterkaitan dengan agama mayoritas yang dianut oleh manusia di Republik ini. Mungkin lain pula dengan suatu kondisi yang penulis pahami dengan tujuan Ade Armando. Mungkin saja ada kelompok yang terkhusus kan.

Namun begitu, dibalik tujuan tentu menghasilkan respon. Terlebih dalam kondisi zaman tsunami informasi hasil cipta teknologi, orang lebih mudah mengingat dengan mencari kembali yang mungkin saja sudah lupa karena waktu. Sehingga “batu-batu” yang dilempar memicu kegelisahan.

Selayaknya kata Weber saat membicarakan etika protestan dan semangat kapitalisme yang kemudian dikenal dengan hukum kausalitas (sebab-akibat). Dari berbagai sudut Weber berusaha menjinakkan konflik, seperti politik, agama, masyarakat, stratifikasi dan lain sebagainya yang membentuk hubungan-hubungan, sebagaimana dogma sekte kalvinis pada masa itu.

Adapun yang dimaksud Weber adalah suatu kejadian, peristiwa, kondisi semula akan disusul oleh peristiwa, kejadian dan kondisi yang lain sebagai suatu probabilitas. Berkaitan dengan kejadian malang yang menimpa Ade Armando, mungkin “batu-batu kecil” itu yang dilemparkan kembali.

Sebab yang lalu di zaman informasi tidak pernah tersisih, hadir dekat di sisi lingkar kehidupan. Kadang kala sebutannya keadilan, kebencian, pembalasan, karma dan lain sebagainya. Karena dalam posisi itu bagi mereka pelaku, sebutan itu beralih makna menjadi perjuangan dengan berbagai dalih; seperti demi membela Tuhan!!!!.

Leave a Reply