Singgasana Raja Tanpa Kursi Di Museum Istana Basa Pagaruyung Kandung Nilai Filosofi

Singgasana Raja Tanpa Kursi Di Museum Istana Basa Pagaruyung Kandung Nilai Filosofi

- in BUDAYA, Headline, OPINI
0

Oleh Destis Sastra

Museum Istana Basa Pagaruyung selain memiliki berbagai koleksi benda dan non benda  yang tersusun rapi dalam kotak-kotak kaca, juga memiliki singgasana raja yang terdapat ditenggah-tenggah ruang museum.

Singgasana raja itu dihiasi dengan tirai-tirai yang menjuntai panjang langit-langit museum, ada bantal tempat duduk di singgasana itu, tidak jauh dari bantal terletak sejambah juada makan yang diletakan depan singgasana.

Singgasana dimuseum istano Basa Pagaruyung ini memang tidak ada kursi maupun meja, hal ini berbeda dengan singagasana-singgasana lainnya yang mungkin ada di seluruh Indonesia.

Tetapi sebenarnya singgasana tanpa kursi itu menganut nilai filosofis bagi masyarakat Minangkabau yang terkandung dalam filosofinya “duduk sehamparan berdiri sepematang, duduk sama rendah berdiri sama tinggi” (duduak sahamparan tagak sapamatang, duduak samo randah tagak samo tinggi).

Di Minangkabau sendiri ada dua sistem politik yang berkembang sejak berabad-abad yang lalu. Yaitu sistem Bodi Caniago dan sistem koto piliang. Kedua sistem ini bertolak belakang ini melahirkan sistem politik Minangkabau yang berlandaskan demokrasi, egaliter, dan keadilan sosial.

Meski begitu dalam perkembangannya politik Minangkabau dapat menerapkan sistem Koto Piliang yang hierarkis beserta sistem Bodi Caniago yang egaliter.

Dan antara bodi caniago dan koto piliang dan sistem politik itu merupakan salah satu dikotomi yang memelihara keseimbangan di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.

Masyarakat yang menggunakan sistem Bodi Caniago, dalam sebuah keputusan tentang musyawarah dan mufakat, karena semua penghulu memiliki derajat yang sama, tanpa ada perbedaan status sosial.

Sistem Bodi Caniago ini dikembangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang dan sistem Koto Piliang yang dikembangkan oleh Datuk Ketumanggungan.

Seorang pemimpin dalam politik Minangkabau, sebagai orang yang dikultuskan. Pengantian pemimpin yang tidak amanah dapat melalui dewan adat. Tetapi meski begitu masyarakat Minangkabau tetap menghargai seorang pemimpin yang amanah yang digambarkarkan dalam filosofis “ditinggikan seranting didahhulukan selangkah” (ditinggikan sarantiang didahulukan salangkah).

Filosofi “ditinggikan seranting didahulukan selangkah” (ditinggikan sarantiang didahulukan salangkah) akhirnya melahirkan pemimpin sejati di Minangkabau, pemimpin-pemimpin yang rendah hati, tulus dan penuh pengabdian (***)

 

Referensi

  1. Rusli Amran, Sumatera Barat hingga plakat panjang, Jakarta, 1981.
  2. Sangguno Diradjo, Dahler Abdul Madjid, Radjo Mangkuto (Datuak), Mustika Alam Minangkabau, 1979.

Leave a Reply